Vebrian.com – Destinasi utama kedua akhirnya dicapai. Komplek candi yang berukuran lumayan besar ini merupakan yang terakhir dikunjungi dalam tour religi hari itu. Kami berdua datang sebelum kumandang shalat Ashar dilantunkan. Bagian terakhir dari tour religi Jogja, tulisan ini akan bercerita sedikit pengalaman saat berkunjung ke candi Prambanan.
Contents
Tiket Candi Part III
Parkir motor matic berada di bawah tempat yang teduh. Berjejer dengan puluhan motor pengunjung yang lain. Aku istirahat sejenak sebelum berjalan kaki masuk. Seharian duduk di motor dan mendaki candi Borobudur membuat pegal kedua kakiku.
Kami berdua kemudian berjalan masuk, berpapasan dengan pengunjung candi yang lain. Ada yang baru datang dan ada yang sudah mau pulang. Tiba di loket masuk, kakakku kembali membeli tiket candi part ketiga. Pertama, Borobudur. Kedua, Mendut. Ketiga, Prambanan.
Sama halnya dengan Borobudur, tiket masuk candi ini senilai Rp 30ribu rupiah per orang. Kas jalan-jalan yang seharusnya sudah direncanakan sedemikian rupa agaknya sedikit melenceng. Yah, sesuatu di luar rencana pasti terjadi. Masih mending kami jalan-jalan pas puasa, kalau tidak tentu dana bisa lebih membengkak. Biaya suap perut pastinya.
Seketika setelah memasuki candi, aku langsung mengambil foto dengan kamera yang sudah aku bawa dari pintu masuk. Karena masih pemula, aku hanya mengambil foto sembarangan saja. Sesuai selera, tanpa aturan. Mengambil candi sebagai objeknya.
Mungkin Dia Mulai Lelah
Berfoto saja tidak cukup tentunya, aku perlu tahu apa isi dari candi-candi yang bertengger di sana. Kami berdua kemudian naik ke salah satu candi tersebut, masuk ke dalam dan melihat ada arca di sana.
Ada empat sisi di tiap-tiap candi. Tiap-tiap sisi memiliki patung arca dewa yang berbeda-beda. Aku sempat mendengar seorang tour guide menjelaskan bahwa arca tersebut adalah Dewa Shiwa. Ia menambahkan kalau dewa tersebut adalah salah satu dari tiga dewa yang diagungkan oleh umat Hindu.
Lalu, aku turun dari candi tersebut dan menaiki candi berikutnya. Masuk ke dalamnya dan mendapati arca yang bagi mataku semuanya sama saja. Tidak penuh kami mengelilingi candi kedua yang kami naiki. Sudah terlalu lelah untuk melanjutkan.
Meskipun rasa penasaranku sebenarnya cukup untuk aku melanjutkan penelitian, aku lebih memilih untuk istirahat saja. Kakakku dengan postur tubuhnya yang agak berat mungkin lebih lelah dariku. Soalnya dia juga yang menyetir dari awal pergi hingga sampai di sini.
Kami kemudian memutuskan untuk pulang saja. Namun, aku minta waktu untuk mengambil foto beberapa. Jarang-jarang aku sampai ke tempat wisata, aku perlu mengabadikannya sekali-kali. Kakakku kemudian hanya duduk di dekat pintu menuju keluar komplek candi.
Setelah puas menjepret objek-objek, aku pun ikut duduk bersama kakakku. Di sana telah ada seorang penjaga candi (mungkin) yang juga ikut duduk. Ia berpakaian seperti seorang satpam. Kami berbincang dengannya tentang Candi Prambanan yang lebih dikenal dengan mitos Roro Jonggrangnya.
Tidak lama berbincang dengan satpam tersebut, kami kemudian pamit duluan untuk pulang. Jalan keluar komplek candi melewati jalan setapak yang di kiri kanannya terdapat bongkahan batu candi yang tidak beraturan. Entah kenapa seperti itu, kata kakakku itu karena gempa yang sempat terjadi di Jogja beberapa waktu lalu.
Layaknya Borobudur, kami juga melewati toko cinderamata. Kali ini aku membeli gantungan kunci untuk kenang-kenangan. Semua uang kecil yang ada di tas aku keluarkan, itu uang terakhirku. Paling tidak, kakakku masih ada simpanan di dompetnya.
Jika saja kami datang lebih awal, aku juga ingin melihat istana Ratu Boko yang katanya berada tidak jauh dari komplek candi Prambanan. Walaupun ada waktu, mungkin tenaga kami juga tak cukup untuk pergi ke tempat tersebut. Sudah mulai lelah, letih, lemah, lesu, dan lunglai. Perlu istirahat sejenak.
Gara-gara Uang Receh
Rasa lelah kembali melanda setibanya di tempat parkir. Teduh dan berangin, membuatku mengantuk. Tidak ada waktu untuk istirahat, kataku. Ashar sudah berlalu beberapa menit, kami berencana untuk shalat di masjid terdekat nanti yang kami tak tahu sedekat apa.
Memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal, kami pun sudah siap meluncur pergi dari komplek candi. Sebelum itu aku mencari karcis parkir tanpa itu tentu kami tidak bisa keluar komplek seenak jidat. Sudah ada aturan yang berlaku.
Karcisnya masih aku simpan, tinggal uang receh yang harus disiapkan. Cukup tiga ribu perak, pikirku. Aku yang memang sudah tidak memiliki kas sedikitpun bertanya kepada kakakku apakah ia ada uang receh untuk bayar parkir.
Setelah mengorek-ngorek isi kantung di baju dan tas, ternyata uang receh yang kami dapatkan tak cukup untuk membayar parkir. Kami lalu mencari di tas kamera, siapa tahu ada beberapa receh di sana. Namun, tetap tidak ada. Parahnya lagi, kami tidak membawa uang sepeser pun di tangan. Luar biasa.
Karena merasa tak elok hanya karena tidak ada uang receh malah tidak bayar parkir, kami pun memutuskan untuk mengambil kas dadakan di ATM. Memang saat itu, kami tidak punya uang sama sekali. Di luar rencana, anggaran jalan-jalan melebihi perkiraan hingga uang pun habis di kantong.
Kami berjalan menuju luar komplek candi, menyeberang jalan dan menemukan ATM di sana. Kebetulan ATM tersebut ada di dekat sebuah masjid. Setelah selesai mengambil uang, kami pun langsung pergi ke masjid untuk shalat Ashar.
Husnudzan, mungkin ini cara Tuhan mengingatkan kami untuk segera menunaikan shalat meski sedang dalam perjalanan. Mengingatkan dengan cara yang lucu dan sederhana. Yup, lewat uang receh.
Ta’jil Tengah Jalan
Keluar dari komplek candi dengan uang receh hasil kembalian membeli air mineral untuk buka di tengah jalan. Perkiraan kami memang akan berbuka di tengah jalan. Perjalanan berlanjut dengan cuaca agak lebih teduh dari sebelumnya.
Tepat di lampu merah yang aku lupa di daerah mana, seseorang tampak membagikan-bagikan gelas plastik yang dibungkus kantong kresek putih. Kami pun juga mendapatkan panganan tersebut. Dilihat sekilas dan dari bau yang tercium, sepertinya itu kolak atau sejenisnya.
Merasa kalau air mineral saja tidak cukup untuk berbuka, maka kakakku memutuskan untuk singgah di supermarket dulu. Ia membeli makanan ringan serta minuman dengan perasa yang lebih menyegarkan.
Tak lama setelah kami keluar dari supermarket, waktu berbuka tiba ditandai dengan adzan Maghrib yang berkumandang. Kami berhenti sejenak di pinggir jalan untuk membatalkan puasa kami. Meneguk air yang telah kami beli dan kemudian melanjutkan perjalanan pulang.
Kacamata Baru
Perjalanan tidak terlalu melelahkan, perut sudah diisi dengan minuman seadanya. Kami berdua sudah sampai di kota Solo di malam hari, rencananya kami akan mengisi perut di warung makan pilihan kakakku.
Sebelum itu, kakakku mau mengambil kacamata yang telah ia pesan beberapa hari lalu di salah satu optik di perempatan jalan. Aku tidak ikut masuk ke dalam optik dan hanya duduk di motor sambil memakan ta’jil yang sedari tadi tak tersentuh. Kakakku keluar dengan membawa kantong berisi kacamata dan aku membuang kantong berisi ta’jil yang sudah habis aku makan.
Semoga Ada Lain Waktu
Akhirnya, tour religi mengunjungi tempat-tempat wisata di Jogja berakhir di kota Solo. Tepatnya di tempat peristirahatan badan yang mulai pegal-pegal dan kaki yang kencang urat-uratnya, kos kakakku.
Sebuah pelajaran yang aku dapat selama perjalanan dalam sehari tersebut adalah aku mesti bersyukur bahwa aku dilahirkan dari keluarga yang telah mengenal ajaran Islam sejak lama. Aku harus bersyukur pernah mengecap pendidikan sejarah dan mengenal pahlawan-pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Terlihat memang seperti perjalanan ke tempat wisata saja, aku bahkan memberi embel-embel tour religi dalam perjalanan ini. Berkunjung ke tempat wisata agama lain dan dilakukan di bulan Ramadhan. Terasa aneh, mungkin. Namun, bagiku itu bukan masalah selama kita bisa mengambil hikmah dari laku kita yang lillah.
Leave a Reply