Vebrian.com – Perjalanan terus berlanjut. Cerita pengalaman menjelajahi daerah-daerah di pulau Jawa untuk menghibur hati yang lara kembali mengambil tempatnya. Bagian lanjutan dari seri Java Island Travelling, yakni catatan perjalanan sederhanaku selama merantau di tanah Jawa.
Kali ini cerita akan dimulai sesaat setelah insiden kehabisan tiket kereta dan berlanjut hingga Solo. Menuju kos kakak kandungku yang kuliah di sana. Ada kesan-kesan dirasakan selama dalam perjalanan dari kota Solo menuju kota santri.
Contents
Woles
“Santai bro”, ucap lelaki bermuka arab bernama Kamil tersebut. Ia yang dengan perawakan besar, perut agak gembul, dan bentuk wajah ala Timur Tengah mencoba menenangkan diriku.
Selain aku dan Ka Kamil, ada adik ipar perempuannya yang sedari tadi juga ikut meramaikan pembicaraan. Kami bertiga berjalan menuju jalan di depan bandara untuk mencari taksi.
Sampai di depan jalan, lelaki paruh baya tersebut malah ingin makan nasi goreng. Mungkin karena tepat di pinggir jalan, berdiri dengan tegak gerobak nasi goreng dengan panci besar plus aroma yang semerbak tercium.
Jujur, perutku juga lapar. Perjalanan yang lumayan lama cukup membuat bakteri-bakteri baik di perutku meminta jatah asupan gizi. Jadilah, ia memesan nasi goreng sebanyak tiga porsi saat itu. Perjalanan jauh, katanya. Perut perlu diisi biar kuat.
Menunggu sekian menit, berbincang-bincang sederhana tentang tujuannya dan tujuanku ke Solo. Ia berkata kalau dia punya keluarga di sana. Sedikit pembicaraan hangat dan saling melontarkan lelucon gurih membuat kami mulai akrab. Akupun juga menyampaikan maksud dan tujuanku pergi ke Solo kepadanya.
Sejurus kemudian, melayanglah dua buah nampan. Terbuat dari bambu dengan plastik sebagai alas nasi berbau tajam yang telah digoreng beberapa menit yang lalu. Air liurku terbit hanya dengan membaui aroma panganan tersebut. Satu kata sebagai kesimpulan dari semuanya. Lapar.
Menuangkan kecap ke atasnya, mengaduk rata dan menyuapnya seketika. Enak. Kata Ka Kamil nasi goreng di tempat tersebut terkenal memang lezat. Sepertinya dia sudah jadi pelanggan tetap di sana. Entahlah.
Tak lama, datanglah taksi yang telah dipesan adik ipar Ka Kamil dari tadi. Pantas saja ia tak terlihat ketika kami sedang asyik melahap nasi goreng. Ia mencari taksi sendirian dan mendapat nomor kontak seorang sopir taksi. Ia kemudian ikut menyantap nasi goreng.
Setelah adik ipar Ka Kamil selesai menyantap nasi gorengnya, kami langsung menyeberang jalan menuju mobil mini bus yang telah menunggu agak lama sedari tadi. Aku masukkan tas cokelat beratku ke bagian belakang dan masuk lewat pintu sebelah kanan.
Obrolan Taksi
Gesekan roda karet dengan aspal hitam sepanjang jalan di Jogja mengawali sebuah obrolan renyah menuju Solo. Tiga penumpang dari tanah Banjar beserta satu orang sopir asli Jawa membuat malam itu menjadi tak terlupakan.
Ramah dan terkesan akrab. Kesan pertama yang aku rasakan saat bertemu sopir taksi tersebut. Berumur sekitar 40-an tahun mungkin. Memakai topi walau berada di dalam mobil ia dengan akrabnya bertanya mau kemana tujuan kami bertiga.
Seketika Ka Kamil menjelaskan bahwa tujuannya bersama adik iparnya ingin ke Solo, tepatnya Pasar Kliwon. Kemudian, menambahkan bahwa setelah mengantar dirinya, antarkan seorang lagi (aku) menuju kampus UNS.
Seingatku perjalanan menuju Solo memerlukan waktu kurang dari dua jam. Memang tak terasa, tiba-tiba saja aku sudah berada di jalan yang ramai penuh dengan lampu kelap-kelip di pinggirnya. Ku rasa aku sudah sampai di kota Solo.
“Aku Tidak Seperti Mereka, Santai Aja”
Kami telah sampai di depan gang rumah keluarga dari Ka Kamil. Dia tidak langsung menuju rumahnya karena ia ingin memberikan kejutan kepada keluarganya nanti. Kami berdua lebih dulu turun dari mobil dan berjalan menuju warung susu murni tak jauh dari gang tersebut.
Ka Kamil menyuruhku untuk duduk. Bertanya kepadaku apakah aku ingin minum susu. Perutku masih kenyang, aku hanya menjawab tidak dan mengucapkan terimakasih. Dia memesan susu es saja untuk dirinya.
Tak lama, mobil taksi datang menjemput lagi dengan tanpa adik ipar Ka Kamil. Sang sopir bingung dengan apa yang terjadi. Dia bertanya punya siapa tas besar cokelat di belakang. Aku menjawab bahwa itu milikku.
Saatnya berpisah dengan si lelaki paruh baya. Sebelumnya Ka Kamil mengajakku untuk berkunjung ke rumah keluarganya nanti di daerah Pasar Kliwon, Solo. Ia menjelaskan bahwa di sana keluarga besarnya tinggal dan berkumpul pada saat liburan.
Ia menambahkan bahwa di Pasar Kliwon banyak terdapat orang-orang keturunan Arab. Aku kemudian meminta nomor kontaknya, siapa tahu aku beruntung punya relasi dari Timur Tengah. Dia menyebutkan nomornya dan aku kemudian bertanya siapa nama lengkapnya.
Dia hanya menyuruhku menuliskan Kamil saja, karena katanya namanya cukup panjang. Cukup panjang memang dan terlalu menarik untuk seorang lelaki dengan hidung mancung. Dia menyebutkan nama lengkapnya sekaligus marganya. As-Seggaf.
Baru sadar kalau ia ternyata adalah seorang habib. Pantas saja bentuk wajahnya begitu Arab. Aku sempat terkejut. Namun, ia kemudian berkata bahwa ia bukan seperti habib kebanyakan yang mengaji ilmu agama dan lain-lain dan menjadi ulama. Ia berkata kalau ia adalah seorang yang santai.
Keren, pikirku. Sekali lagi aku berterimakasih kepadanya, terutama karena telah membantuku yang buta arah jalan serta telah membayar semua ongkos taksi tadi. Semoga lain kali bertemu dengan Ka Kamil lagi. Aku masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju kos kakakku.
Tak Tahu Arah
Aku menelepon kakakku menanyakan harus kemana taksi ini nanti berhenti. Karena tak paham dengan kondisi di jalan, aku kemudian menyerahkan hapeku ke sopir taksi saja. Membiarkan si sopir berbicara dengan kakakku.
Nama-nama tempat disebutkan sepertinya, namun aku tidak paham. Ujungnya taksi disuruh stop di depan gerbang ISI. Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Perjalanan panjang hari ini akan segera berakhir.
Gerimis melanda. Tak lama semakin menjadi guyuran hujan. Taksi sudah sampai di depan sebuah gerbang besar dengan banyak kumpulan gerobak makanan kecil di pinggir jalannya. Sepertinya itu gerbang sebuah kampus. Aku tak tahu.
Aku telepon kembali kakakku dan ternyata dia sudah berada di sana, menggunakan jas hujan, memakai motor matic. Aku ingin turun, namun hujan semakin deras dan memaksaku untuk diam saja di mobil.
Kemudian, kakakku hanya menyuruh sopir taksi untuk mengikuti dia menuju kosnya. Aku tetap di mobil. Tak lama kemudian, kami memasuki sebuah komplek. Lurus dan belok ke sebuah gang kecil. Motor kakakku berhenti dan sampailah aku di tujuan.
Mengambil semua barang di bagasi berbekal jas hujan. Menaiki lantai teratas kos kakakku, shalat jamak dan istirahat untuk persiapan esok hari. Menuju pondok di kota Kudus.
On The Way, Kakak!
Persiapan telah siap. Barang telah dibawa semua. Perjalanan akan segera dilakukan. Dengan bekal motor matic pinjaman dari teman kakakku (sebenarnya pacarnya), kami berdua melakukan touring sederhana.
Tidak diawali dengan sarapan terlebih dahulu, kami langsung pergi. Saat itu sekitar jam 6.30 pagi waktu setempat, jalan di sekitar kota Solo masih lengang. Tak banyak kendaraan berlalu lalang.
Suasana baru yang aku rasakan membuat perasaan nyaman. Penampakan suasana kota asri yang baru aku lihat pertama kali di Solo pada pagi hari mungkin akan dirindukan suatu waktu nanti. Aku ingin menjelajahi kota Solo lain waktu.
Melewati beberapa nama jalan selama perjalanan, tapi motor masih saja dipacu. Padahal, aku berharap akan ada acara singgah sebentar di warung makan untuk mengisi perut yang keroncongan.
Ternyata, kakakku sudah merencanakan sebuah tempat untuk kami sarapan. Sebuah warung yang menyajikan nasi sop di dalam sebuah mangkuk di daerah yang aku lupa namanya. Singgah di sana sebentar menikmati kuliner khas. Alhamdulillaah.
Perut sudah diisi, saatnya lanjut. Kali ini perjalanan tidak ada perhentian selain pom bensin untuk memberi minum si matic yang haus dan sebentar peregangan di pinggir jalan. Sempat tersesat di jalan sekitar Undip, karena mengikuti petunjuk dari Google Maps. Masuk komplek Undip dan ternyata bukan jalan yang seharusnya dituju. Kami putar arah.
Saat itu, cuaca sudah mulai panas. Kakakku ingin membeli sebuah kaos tangan untuk melindungi tangannya dari teriknya matahari. Beruntung di dekat kami balik arah, ada orang yang berjualan benda tersebut. Tak berapa lama, setelah kembali menggunakan Google Maps, kami akhirnya memasuki kota Kudus. Syukurlah.
Tengah hari, kami masih mencari alamat pondok tempat aku akan nyantri. Shalat Jumat sudah hampir tiba, akan tetapi pondok tersebut masih belum kami temukan. Berbekal Maps lagi, aku mencoba memberi arahan kepada kakakku untuk menuju alamat pondok.
Belok kanan kiri, melewati jalan kecil dan akhirnya menemukan sebuah plang kecil dari kayu bertuliskan Yanbu’ul Qur’an. Menunjuk ke arah kanan, menengok, dan ketemu pondoknya. Yayasan Arwaniyyah. Akhirnya.
Sekarang saatnya melaksanakan kewajiban. Walaupun kami sedang dalam perjalanan, kakakku tetap ingin melakukan shalat Jumat tepat waktu. Pilihan terdekat, Masjid Menara Kudus, Al-Aqsa.
Khutbahnya Keren, Ya?
Datang sesaat sebelum khutbah dimulai. Memarkirkan motor di depan menara yang sudah penuh jejal dengan motor lain. Masuk komplek masjid, melewati samping menara dan mengambil air wudhu. Menggelar syal hijau untuk dijadikan alas untuk sujud, kami berdua shalat tahiyatul masjid tepat di samping menara Kudus.
Kami datang sesaat sebelum khutbah dimulai. Beruntung aku bisa mendengar khutbah, pikirku. Aku mendengarnya dengan jelas, tapi tidak memahami isi khutbahnya. Khatib menggunakan bahasa Jawa yang aku tak paham artinya. Sama sekali tak mengerti.
Khutbah hanya berselang beberapa menit, kemudian dilanjutkan dengan shalat Jumat. Selesai berdzikir, perut kembali keroncong. Saatnya mencari warung makan lagi. Khas kota Kudus, kalau bisa.
Masuk “Penjara Ilahi”
Parkir di depan tulisan besar Yayasan Arwaniyyah. Akhirnya dapat melihat dengan nyata tulisan tersebut. Dulu cuma sekedar melihat di Google Images. Diam sejenak dan kemudian mencoba mencari-cari dimana kantor pondok. Masih sepi, mungkin para santri masing dalam perjalanan menuju pondok. Maklum baru saja selesai shalat Jumat.
Berselang beberapa menit, datanglah beberapa santri. Aku kemudian masuk ke kantor pondok, mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Pintu kantor kemudian terbuka dan berdiri seseorang dengan seragam berwarna hijau. Ia mempersilahkan aku dan kakakku masuk kemudian.
Aku menjelaskan maksud kedatangan ke sana. Telah mendaftar jadi salah satu santri puasanan. Orang itu kemudian menyuruh kami menunggu, dan ia masuk ke dalam. Kali ini, seseorang berseragam yang sama keluar dengan membawa beberapa lembar kertas.
Ia menanyakan siapa nama dan darimana asalku. Mencari di kertas tersebut dan tidak menemukan namaku. Apakah namaku tak terdaftar? Ia kemudian bertanya tentang biaya pendaftaran. Aku kemudian menyerahkan struk transfer kepadanya.
Setelah yakin, kalau aku memang terdaftar. Ia menjelaskan bahwa selama kegiatan dilarang membawa hape, lalu seketika itu juga aku serahkan hape putihku kepada orang yang mungkin adalah pengurus pondok tersebut.
Sebelum kakakku pulang, ia menelepon ayahku dulu mengatakan bahwa aku tak bisa dihubungi selama kegiatan. Aku hanya dapat dihubungi melalui nomor kantor pondok yang telah dikirim sebelumnya lewat SMS. Setelah itu, kakakku langsung pulang menuju Solo. Salim terlebih dahulu dengannya.
Sepertinya, hari-hari tanpa hape dengan lingkungan pertemanan yang baru serta kegiatan ala santri akan segera aku rasakan. Aku benar-benar telah masuk “penjara Ilahi” mulai hari ini.
Leave a Reply