Vebrian.com – Seri Perjalanan di Pulau Jawa (Java Island Travelling) kali ini akan mengisahkan sebuah tur religi yang aku dan kakakku lakukan selama satu hari di bulan Ramadhan beberapa bulan yang lalu.
Cerita ini adalah lanjutan dari terkekangnya diriku di “bui Ilahi” selama 17 hari di kota Kudus. Setting terjadi di kota Surakarta, sesaat setelah aku datang dan diajak menjelajahi kota tersebut oleh kakakku. Menuju pusat kota, mencicipi kuliner yang memanjakan lidah serta berbelanja di pusat perbelanjaan di sana.
Beberapa hari setelah aku datang dari Kudus, kakak mengajakku untuk pergi ke candi Borobudur dan Prambanan. Oleh karena itu, aku mencari beberapa benda untuk disiapkan sebelum berangkat nantinya. Mungkin sepatu, pikirku. Lalu, pergilah kami menuju pasar di kota Solo.
Sehari sebelum keberangkatan, tampak olehku sebuah tas kamera Canon di dalam kos kakakku. Saat aku tanya milik siapa, ia menjawab kalau kamera itu milik kantor tempat ia bekerja di UNS. Perjalanan kali ini akan mencetak kenangan berupa keabadian dalam data-data.
Contents
Peninggalan Bersejarah
Pagi hari, sekitar jam 8 waktu setempat. Perjalanan dimulai dengan persiapan seadanya. Tanpa sarapan, karena sedang puasa. Hari ini mungkin akan menjadi hari terberat dibanding hari-hari yang lain di bulan Ramadhan. Walaupun begitu, rekreasi kali ini dipastikan akan menjadi pengalaman tak terlupakan.
Motor matic berwarna hitam terus dipacu dengan kecepatan ideal. Singgah sebentar di pom bensin untuk mengisi bahan bakar sekali dan kemudian melanjutkan tur religi kami. Religi karena dilakukan di bulan puasa.
Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih dua jam, sampailah kami di depan komplek Candi Borobudur. Motor kami parkir di tempat parkir yang sudah disediakan di depan komplek. Dijaga oleh dua orang lelaki yang sangat ramah, sangat amat nampaknya parkir di tempat tersebut.
Berjalan menuju jalan masuk komplek candi. Saat masuk pertama, kami bertemu dengan penjual topi lebar. Berdiri dengan menjajakan pelindung kepala kepada para wisatawan yang datang. Jika saya topi tersebut tidak terlalu girlie untuk para lelaki, sudah pasti aku rogoh kantongku untuk membelinya.
Aku kemudian hanya menyingkap pelindung kepala yang ada di jaketku untuk menahan panasnya terik matahari menjelang tengah hari. Berbeda dengan kakakku yang memakai jas saat itu. Dia tahan panas. Mungkin ada pendingin udara di dalam jasnya.
Tak jauh berjalan dari penjaja topi tersebut, kami melewati tempat penyewaan payung. Lumayan untuk menaungi kepala, pikirku. Cuaca pasti akan sangat panas ketika nanti berada di area candi. Tanpa pohon di sekitarnya, seperti jalan komplek candi yang sedang kami lalui sekarang.
Aku menawarkan untuk menyewa benda tersebut kepada kakakku, namun ia kembali bertanya balik. Akhirnya mungkin karena gengsi, tak jadi menyewa payung. Aku tentu masih bisa memakai tudung kepala, tapi tidak dengan kakakku. Mungkin dia punya payung transparan di atas kepalanya.
Ada banyak orang di sekitar kami saat itu, sebagian mungkin telah selesai dengan kegiatannya dari Borobudur dan sebagai yang lain mungkin baru datang. Kami berjalan terus, hingga kemudian sampai di sebuah tempat. Ada beberapa orang yang mengantri di sana. Membeli tiket masuk.
Tiket seharga Rp 30ribu per orang. Itu artinya kami berdua seharga Rp 60ribu. Murah jika dibanding dengan pengalaman yang akan tertancap di memori otak kami berdua seumur hidup. Pergi berwisata ke candi Buddha yang dilakukan di bulan puasa.
Sebelum masuk, kami mesti melewati portal terlebih dahulu. Antri lumayan panjang, tapi tak terlalu mengular. Dengan sigap petugas portal berpakaian khas Jogja memberikan arahan kepada pengunjung untuk menempelkan tiketnya di scanner portal. Setelahnya, mendorong portal dan masuk ke komplek candi.
Karena melihat beberapa pemandangan hijau yang asri, aku ingat tentang kamera yang dari tadi masih bersemayam di dalam tas laptop yang aku pakai. Aku mengambil kamera tersebut kemudian dan mulai menyalakannya. Mencoba menangkap beberapa objek sembarang. Pemula, bahkan sebelumnya tak pernah menyentuh kamera seperti itu.
Pertama aku mencoba menangkap penampakan Borobudur dari kejauhan. Kemudian, menjempret kakakku yang sedang mengambil fotoku menggunakan kamera dengan hapenya. Tak kelewatan, kereta kuda yang kebetulan melintas juga ikut aku jepret. Kegiatan jepret-jepret terus berlanjut, bergantian dari aku ke kakakku hingga menuju di bawah kaki candi.
Naik-Naik ke Puncak Candi
Puas kami berfoto di kaki candi, selanjutnya pendakian diteruskan menuju puncak. Aku sempat penasaran dengan relief-relief di dinding candi dan membuat pendakian tertahan sebentar. Kakakku kemudian menyuruhku langsung menuju puncak saja. Melalui beberapa lapisan, sampailah kami di tengah candi. Tepat pada puncaknya.
Tengah candi Borobudur tertancap dengan megahnya sebuah stupa besar. Dikelilingi oleh stupa-stupa yang lebih kecil darinya berisi patung Buddha di dalamnya. Selama di atas, aku berkeliling mencari stupa yang di dalamnya kosong. Tak ada patung Buddha di dalamnya. Take photo, first.
Saat di puncak, kami hanya berputar-putar dan mencari spot untuk eksis. Kadang bertemu dengan para turis dengan kulit putih cerah yang berbicara dengan bahasa asing. Entah darimana, yang jelas mereka pasti bule. Tidak hanya satu dua orang, bule-bule tersebut datang satu kompi plus tour guide-nya.
Harta Karun Misterius di Borobudur
Cuaca yang panas membuat kami berdua kelelahan. Masih berada di lantai puncak sambil mencari tempat berteduh, kami bersantai sejenak untuk mencari tenaga terbarukan. Lelah juga ternyata menaiki gunung stupa saat sedang berpuasa.
Setelah energi kembali didapat, kami memutuskan untuk turun saja. Aku teringat dengan sebuah penelitian tentang Borobudur yang menyatakan bahwa candi tersebut merupakan peninggalan Nabi Sulaiman as. Panjang lebar jika dibahas di sini.
Aku mencari sebuah relief yang mana dikatakan bahwa relief tersebut berupa tombol sebuah brankas. Jika jempol ditempelkan di brankas tersebut, konon katanya brankas akan terbuka. Entah apa isi brankas tersebut, tapi seperti itulah informasi yang pernah aku dapatkan.
Memang benar ada relief seperti itu. Mencari berkeliling di lantai candi yang aku lupa dimana, gambar di dinding candi Borobudur tersebut memang berbentuk seperti tombol. Berbentuk bulat dan di sampingnya terdapat garis vertikal yang membelah berbentuk layaknya sebuah pintu.
Karena penasaran, aku kemudian menempelkan ibu jariku ke relief tombol tersebut. Take another photo, of course. Lalu, tersimpanlah foto tersebut di memori kamera. Cool!
Tenaga Terkuras Karena Sebuah Relief
Kali ini, aku makin penasaran. Menemukan sebuah relief dengan mata kepala sendiri membuat aku kembali ingin mencari gambar yang lain. Relief dengan gambar seorang perempuan yang mengangkat kain. Dikatakan bahwa relief tersebut merupakan penggambaran peristiwa ketika Ratu Balkis memasuki istana Nabi Sulaiman as. Berkeliling lagi kami berdua, sambil mengambil foto tiada henti tiap kali melihat spot yang menarik.
Tak ku temui relief tersebut, kami sudah berputar-putar mengelilingi tiap lantai Borobudur dan tidak menemukannya. Entah, mungkin karena aku yang kurang teliti menampak setiap detail dinding candi Buddha tersebut. Menurut kakakku, kami berdua sudah berputar lebih dari putaran thawaf jika dihitung. Wow!
Kelelahan mulai melanda, dehidrasi adalah puncaknya. Terik matahari tentu membuat cairan di dalam tubuh kami menguap sedemikian rupa. Dengan kondisi seperti ini, kami memutuskan untuk menghentikan pencarian dan memutuskan untuk pulang.
Pasarnya Panjang Ya?
Turun dari candi Borobudur, mengambil beberapa foto untuk dijadikan wallpaper di hape. Setelahnya kami langsung menuju jalan keluar. Di tengah perjalanan menuju jalan keluar, aku melihat seseorang yang menjajakan sebuah mainan. Pesawat yang bisa kembali ke tempat ia dilempar. Layaknya bumerang. Aku ingin membelinya, tapi gengsi (lagi).
Melewati pasar ternyata. Bukan pasar sih, mungkin bisa dikatakan toko-toko yang menjual souvenir khas Jogja dan Borobudur. Kaos pariwisata murah meriah serta berbagai cinderamata tergeletak di sepanjang jalan keluar. Selain itu, warung-warung makan pun juga ada di sana. Godaan nih.
Berjalan cukup lama, sambil mencari souvenir untuk ibuku. Sebuah dompet batik dengan tulisan Jogja di atasnya. Tapi, ternyata dompet tersebut tidak mengambil wujudnya di toko-toko tersebut. Hanya aku kemudian yang membeli polpen Borobudur untuk hadiah buat teman-temanku.
Apakah karena faktor kelelahan atau apa, aku merasa kalau jalan dengan jejeran toko tersebut terasa sangat jauh ditapaki. Dimana jalan keluarnya? Dimana gerbang depan komplek candi yang kami lalui pertama kali tadi? Mulai lelah, tapi semangat untuk menuntaskan tur religi ini membuatku terus berjalan.
Akhirnya, kami sampai juga di tempat parkir. Bertemu kembali dengan motor matic hitam yang sedari tadi nongkrong bersama dua orang tukang parkir. Sekarang saatnya pulang. Tidak pulang menuju Solo, tapi menuju destinasi selanjutnya.
Candi Prambanan.
Leave a Reply