Vebrian.com – Setelah mengunjungi Borobudur dengan perjuangan yang cukup meletihkan. Melalui teriknya cuaca siang hari di bulan Ramadhan. Tak terasa melelahkan sebenarnya, karena semangatku bertandang ke objek-objek yang belum pernah aku cerna langsung penampakannya dari mataku terlalu tinggi menjulang.
Masih dalam seri Java Island Travelling, dalam bagian tour religi di bulan puasa mengunjungi beberapa tempat bersejarah di sekitar provinsi Jawa Tengah. Tulisan di bawah ini akan bercerita sedikit peristiwa di tengah perjalanan menuju tujuan utama yang kedua, yakni Candi Prambanan.
Ada beberapa kesan dan peristiwa menarik selama perjalanan tersebut. Aku dan kakakku malah salah fokus dan singgah ke tempat yang sebelumnya tidak kami berdua rencanakan. Langsung berimprovisasi.
Contents
Candi Mendut
Kami melanjutkan perjalanan, berbalik arah sebenarnya. Melewati jalan yang sudah dilalui sebelumnya. Tujuan kami kali ini adalah Komplek Candi Prambanan. Komplek dengan beberapa buah candi dengan beberapa mitos tentang pembuatannya.
Namun, sebelum menuju ke Prambanan. Aku teringat Candi Mendut, terletak tidak jauh dari Borobudur. Sempat melihat saat menuju Borobudur, aku penasaran bagaimana candi itu dilihat dari jarak pandang yang cukup dekat. Sekilas aku melihat candi tersebut hanya sebesar mungkin 10×10 meter.
Motor matic diparkir di bawah pohon berakar gantung dekat pedagang yang berjualan mie ayam. Godaan lagi, perut lapar dan kerongkongan yang kering kerontang. Kalau tidak sedang puasa, mungkin aku sudah memesan semangkok mie ayam dan segelas es teh manis. Sungguh menyegarkan.
Langsung menuju jalan kecil menuju pintu masuk candi. Di kiri kanan berjejer toko cinderemata yang menjual barang-barang yang hampir sama dengan toko di Borobudur. Sampai di depan loket tiket, kakakku membeli untuk dua orang. Lupa berapa harganya, tapi jauh lebih murah dari tiket masuk ke Borobudur.
Aura Apa Ini?
Menaiki anak tangga yang tidak sebanyak Borobudur, hanya butuh beberapa langkah untuk sampai di depan pintu masuk ke dalam candi tersebut. Selain kami berdua, ada beberapa orang turis asing yang juga berada tepat di depan kami.
Kami lalu masuk ke dalam candi tersebut. Tampak tiga buah patung berdiri kokoh di sana. Lengkap dengan beberapa sesajen mungkin, entahlah. Bau harum pun tercium sesaat setelah aku memasukinya. Aku mendongak ke atas dan terlihat dinding di dalam candi mengerucut semakin ke atas.
Tak lama aku dan kakakku berada di dalam candi tersebut. Hanya beberapa menit saja, aku merasakan sebuah aura yang berbeda setelah masuk ke dalam dan melihat tiga patung Buddha tersebut. Aroma yang semerbak tercium pun membuat kepalaku agak pusing.
Bukan apa-apa, mungkin ini hanya karena kurangnya cairan di dalam tubuhku serta perbedaan intensitas cahaya di dalam dan di luar candi. Maklum kami berada di sana persis di siang bolong.
Cukup puas berputar-putar dan mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi, kami langsung menuju tujuan sebenarnya. Candi Prambanan, here we go!
Putar Balik, Jangan Lewatkan Kesempatan Ini
Jalan menuju Prambanan cukup jauh dari Candi Mendut. Melewati jalan aspal dengan fatamorgana air menggenang di ujung jalan. Sungguh perjalanan yang sangat menggerahkan di bulan puasa yang penuh berkah.
Setelah beberapa menit perjalanan, tampaklah tepat di sebelah kiri kami sebuah bangunan layaknya gunung yang menjulang. Berwarna krim dengan dikelilingi air di bawahnya. Kakakku memberitahuku bahwa gedung tersebut adalah monumen. Monjali. Monumen Jogja Kembali.
Tak ada niatan untuk berkunjung ke tempat tersebut. Tak ada rencana memang. Tujuan awal kami hanya dua, Borobudur dan Prambanan. Tapi, karena mungkin tidak ada kesempatan lain pergi ke Jogja, mengapa tidak sekalian saja mengunjungi monumen tersebut?
Kami langsung memutar balik karena sempat melewati begitu saja tempat tersebut. Tidak terlalu jauh sehingga kami juga tidak perlu terjebak dalam rantai mobil yang sempat mengular saat itu. Meski tidak padat, tapi macet tetaplah macet.
Berhenti di loket masuk dan membeli tiket lagi untuk berdua. Ini sudah tiket part ketiga selama tur hari ini. Dan keempat akan segera berada di tangan beberapa saat lagi. Memarkir kendaraan yang telah menemani kami di dekat sebuah pesawat kemudian.
Festival Lampion
Ada banyak benda-benda penuh warna di tempat tersebut. Berbagai bentuk tergambar nyata dibuat oleh tangan penuh daya kreativitas tanpa batas. Tokoh kartun, binatang, dan kendaraan dijadikan sebuah objek indah dipandang mata.
Jika saja kami datang pada malam hari, tentu kesan keindahan objek-objek tersebut akan semakin menyilaukan mata akibat benderang cahayanya melawan kelam dan gelapnya malam. Sekumpulan benda-benda ajaib tersebut adalah lampion-lampion indah yang bertengger di sekitar Monjali.
Selain lampion-lampion tersebut, juga ada alat tempur yang ditegakkan di sana. Aku tidak yakin apakah itu asli atau hanya replika. Melihat sebentar, menyentuh seadanya dan kemudian langsung menuju pintu masuk monumen.
Kumpulan Museum dalam Satu Lantai
Lantai pertama monumen tersebut berisi kumpulan beberapa museum. Masing-masing museum berisikan benda-benda dari zaman perjuangan lengkap dengan nama dan penjelasannya.
Beberapa patung pahlawan seukuran manusia pun juga ditegakkan di dalam ruangan berbentuk lingkaran tersebut. Peralatan perang seperti meriam dan pelempar granat atau sejenisnya (aku tak begitu paham) juga persis duduk manis di sana.
Sesuatu yang paling menarik perhatianku adalah museum dimana terdapat sebuah kendaraan yang dulunya dipakai Jenderal Sudirman untuk menghadiri peristiwa bersejarah. Lengkap dengan sepatu dan pakaian yang beliau kenakan. Juga, dua kata-kata bijak beliau yang diabadikan dalam sebuah bingkai kayu kecil berjuntai di dinding museum tersebut.
Luar biasa, tidak rugi kami berdua memutar arah untuk kembali dan mengunjungi monumen yang saat itu kami sambangi. Ada banyak pengetahuan baru yang kami dapatkan setelah melihat dengan jelas benda-benda peninggalan zaman pergerakan para pemuda Indonesia.
Semua museum di lantai pertama telah aku dan kakakku jelajahi, saatnya menuju lantai atas. Bayangan keadaan lantai tersebut sudah berkelabat di kepalaku. Lantai pertama saja sudah sangat mengesankan apalagi yang kedua dan yang terakhir.
Berkeliling kami mencari anak tangga menuju lantai kedua, namun tidak kami temukan wujudnya. Sungguh aneh. Dimana tangga menuju lantai kedua?
Nama yang Terukir Abadi dalam Sejarah
Karena tak ingin menguras tenaga untuk berkeliling, kami putuskan untuk bertanya saja kepada pengelola museum yang kebetulan kami temui. Ada beberapa dari mereka, tapi kami bertanya pada seorang lelaki yang terlihat lebih senior.
Ia kemudian memberikan arahan untuk keluar terlebih dahulu dari lantai pertama tempat kami berdua berdiri sekarang dan kemudian berbelok ke arah kanan. Di sana ia menambahkan ada sebuah tangga menuju pintu masuk ke lantai kedua sekaligus lantai terakhir.
Kami kemudian berlalu setelah mengucapkan terimakasih kepadanya. Menuju keluar, dan berbelok ke arah kanan. Tampak beberapa lampion di kiri kanan jalan tersebut. Setelahnya kami berdua tiba di tempat persis yang diucapkan pengelola museum tersebut.
Di sana, terpampang sebuah dinding dengan puluhan atau mungkin ratusan nama terukir. Dinding itu tepat berada di depan jalan berkeramik merah yang luas terbentang sebelum anak tangga menuju pintu masuk lantai kedua.
Aku tidak tahu untuk apa nama-nama itu diukir, sepertinya semua nama pahlawan yang terlibat dalam peristiwa tertentu sengaja disebutkan di dinding tersebut. Untuk mengenang mereka dalam keabadian.
Para Pahlawan yang Membeku
Dipandu oleh seorang lelaki setelah menjajaki lantai kedua monumen tersebut. Ia menyuruh kami untuk berbelok ke arah kiri untuk melihati diorama. Aku tak tahu pasti apa pengertian diorama sebelum memasuki ruangan tersebut.
Ruangan dengan cahaya kuning yang remang-remang. Ruangan tersebut pastinya berbentuk lingkaran layaknya bentuk museum di lantai sebelumnya. Tak lama berjalan, akhirnya aku tahu apa itu diorama.
Tepat di sebelah kanan kami, berjejer beberapa objek berbentuk manusia dengan skala yang lebih kecil. Objek dalam sebuah kotak tersebut menggambarkan suatu peristiwa dalam sejarah Indonesia. Berbekal pencahayaan yang lebih terang dibanding ruangan di luarnya, menambah kesan hidup pada diorama tersebut.
Kami berdua terus melangkahkan kaki menuju diorama demi diorama. Menyelami sejarah zaman kemerdekaan melalui serangkaian maha karya agung ciptaan seniman penuh kreativitas. Aku mencoba membayangkan diriku masuk dan berbaur menjadi salah salah orang yang hidup pada zaman tersebut.
Tak terasa, ruangan dengan cahaya redup tersebut telah kami tapaki hingga ujungnya. Kami tepat berada di tempat awal kami memasuki ruangan di lantai kedua tersebut.
Lelaki yang tadi kami temui mempersilahkan kami menaiki anak tangga menuju lantai terakhir. Ia memberi kami waktu sekitar lima menit berada di sana dan turun kembali setelahnya. Entah ada apa di lantai tersebut. Namun, sebuah papan yang tergantung di dinding menuju ke atas sudah cukup menjelaskan semuanya.
Mengheningkan Cipta, Mulai!
Ruangan itu kecil melingkar, tepat di depan kami terpancang sebuah tiang dengan bendera merah putih layu tak berkibar di tengah ruangan tersebut. Dinding yang mengerucut menuju bagian atasnya, dihiasi gambar tangan yang melukiskan semangat maju terus pantang mundur membuatku merinding.
Aku melihat ke sekeliling, mendongakkan kepalaku ke atas. Suara-suara gerak kaki kecil kami menggema dan membuat pantulan suara layaknya desingan peluru-peluru di medan pertempuran.
Seolah-olah aku sedang berada di sebuah pertempuran mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan tanah air tercinta. Aku merasa sangat kecil dan sangat pengecut dibanding mereka para pejuang yang telah rela mengorbankan harta dan jiwa demi merebut kedaulatan NKRI.
Mungkin karena saking takjubnya, aku hanya diam terpaku berada dalam ruangan tersebut. Aku tak dapat membuka mulutku, ada aura yang mengekangku untuk hanya sekedar berbisik membahas sesuatu di luar rasa takjubku tentang semua yang telah aku lewati dari lantai pertama.
Semua rasa terakumulasi dan membuncah di ruangan tersebut. Semua perasaan bercampur aduk di dalam benakku. Aku hanya dapat memberikan rangkaian bait doa dalam batinku untuk para pejuang yang telah melewati masa-masa penuh pengorbanan tersebut.
Hanya bisa mengheningkan cipta.
Mahasiswa ULM Mau Diajak Tur Bareng ke Monjali
Kami kemudian menuruni anak lantai ketiga setelah selesai mengheningkan cipta. Berada di ruangan tersebut mengantarkan jiwaku seolah berada di medan perjuangan. Membela tanah air tercinta.
Duduk di belakang meja, seorang lelaki yang memandu kami untuk terlebih dahulu belok ke kiri melihat diorama di lantai dua. Memakai seragam yang rapi, ia kemudian berdiri dan mempersilahkan kami berdua untuk mengisi buku tamu.
Perbincangan renyah terjadi antara ia dan kakakku. Membahas tentang kapan didirikannya Monjali, oleh siapa, dan atas alasan apa monumen itu dibangun.
Oh, satu hal yang menarik. Kakakku dipanggil oleh pria itu dengan sebutan Pak Dosen. Gaya berpakaian kakakku dengan kaos oblong berlapis jas kantor berwarna coklat mungkin cukup mewakili kepantasan menyandang sebutan tersebut.
Percakapan terus saja terjadi hingga kakakku memiliki keinginan untuk membuat study tour oleh mahasiswa ULM jurusan Pendidikan Sejarah. Tujuannya tentu Monumen Jogja Kembali dengan puluhan bahkan ratusan cerita penuh sejarah yang terukir di dalamnya.
Lelaki berseragam rapi tersebut sumringah, seolah baru saja mendapati seorang pencerah di hadapannya. Dengan senang hati, ia menjelaskan beberapa fasilitas yang nanti disediakan khusus untuk para pengunjung tersebut kelak. Setelah pembicaraan tersebut, kami pun pamit pulang untuk melanjutkan perjalanan.
Kali ini tujuan utama tidak akan melenceng lagi. Prambanan sudah dapat dipastikan akan kami kunjungi sebentar lagi. Namun, sang waktu sudah berdiri di perbatasan siangnya. Adzan Ashar hampir berkumandang dan kami bahkan masih di tengah jalan menuju candi tersebut.
Leave a Reply