Vebrian.com – Tulisan sekuel setelah tidak lolosnya diriku dalam tes seleksi beasiswa kampus bisnis di Jakarta. Setelah melewati masa-masa penyembuhan luka akibat hati yang teriris sembilu, akhirnya sebuah kuncup tujuan baru demi menggapai cita-cita mencoba merekah.
Tidak menyerah hanya karena peristiwa tersebut, aku kembali menelusuri jejak-jejak impian yang sempat terhapus karena satu dan lain hal. Merangkai kembali titik-titik percikan kesuksesan berbekal ingatan serta pengalaman yang telah dilalui selama beberapa tahun yang lalu.
Tulisan yang masih berada dalam satu seri Java Island Travelling ini akan berkisah tentang beberapa penggalan peristiwa kecil sebelum aku menjadi anak pondok untuk pertama kalinya.
Contents
Jangan Menangis!
Terlalu berlebihan agaknya. Kepergianku ke Jawa untuk kedua kalinya ini dibumbui sedikit rasa haru di benak keluargaku. Seolah-olah, pada saat itu adalah hari terakhir ibuku bertemu dengan anak laki-lakinya yang kedua.
Ikut bersama kami, julak (kakak perempuan dari ibuku) mengantarku ke bandara Syamsuddin Noor. Beliau juga terlihat seperti merasakan hal yang sama seperti ibuku. Terharu.
Beda halnya dengan ayahku dan adikku. Ekspresi mereka datar. Tak terkesan gentar ada di pelupuk mata mereka. Mungkin karena hormon testosteron yang lebih dominan di diri mereka berdua sehingga mereka wajib terlihat perkasa di hadapan perempuan.
Setelah selesai salim dengan kedua orangtua, julakku, dan adikku, aku langsung masuk ruang check-in dengan membawa ransel serta tas coklat besar berisi pakaian yang aku miliki. Sangat berat sehingga membuat aku kerepotan saat itu.
Aku tunjukkan tiket digital yang ada di hapeku dan masuk ke dalam untuk melakukan check-in. Tas coklat raksasa aku letakkan di atas sebuah lempeng logam datar di samping meja tempat aku menyerahkan tiket digital untuk kedua kalinya.
Ransel yang sedari tadi berlenggang di bahuku, akan aku biarkan selalu berada di sisiku hingga masuk pesawat. Seperti biasa, bersama-sama melewati pemeriksaan rumit oleh petugas bandara.
Selesai sudah. Kembali menunggu, hingga terdengar suara perempuan yang tak terlihat wajahnya memanggil untuk masuk ke perut burung besi. Terbang bersamanya menuju tujuan yang satu.
Kali ini tujuanku bukan ibukota. Jika tidak ada halangan merintang di atas sana, pesawat dengan logo singa jingga bersayap ini akan hinggap di sarangnya sekitar pukul 8 malam. Menemani burung-burung besi yang lainnya di bandara kota para pelajar.
Satu Pilihan Terbaik. Terimakasih Mbah Google
Beberapa hari sebelum kejadian mengharu biru mengambil setting.
Perjalanan keduaku kali ini tidak terjadi begitu saja. Ada banyak pertimbangan yang aku telah lalui. Memeras otak, mencoba mengikuti kata hati dan sedikit memakai insting yang ada di dalam diriku. Memilih satu di antara pilihan terbaik bukanlah sesuatu yang mudah.
Ada puluhan bahkan ratusan pondok pesantren yang ada di seluruh Nusantara. Menurut pendapatku secara sistem, ponpes-ponpes tersebut terbagi menjadi dua yakni: salaf (tradisional) dan modern.
Jika melihat dari apa yang diajarkan di dalamnya, terbagi juga menjadi dua, yakni pondok Qur’an dan pondok kitab. Jika pondok kitab lebih banyak berfokus pada pengajaran kitab-kitab kuning, tentu tanpa mengabaikan pengajaran Qur’an maka pondok Qur’an lebih berfokus pada pengajaran Qur’an dengan tambahan sedikit pengajaran kitab kuning di dalamnya.
Pondok yang berfokus pada pengajaran tentang Al-Qur’an menurut beberapa sumber yang aku baca dan mencoba menyimpulkan sedikit, fokusnya lebih mengarah ke tahsin serta tahfizh.
Pondok seperti itulah yang aku ingin masuk ke dalamnya. Menjadi santri walau sebenarnya usia sudah memasuki kepala dua. Tapi, tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, bukan? Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.
Lumayan menyita banyak waktu. Pencarian pondok Qur’an dengan bantuan Mbah Google memang mudah, akan tetapi jiwa perfeksionis dan idealis yang ada di diri seorang melankolis phlegmatis sepertiku sepertinya membuatnya semuanya runyam.
Mencoba mencari pondok terbaik dari yang terbaik. Itu adalah misi utamaku. Aku ingin belajar di sana bersama orang-orang yang memang digembleng sedemikian rupa pengetahuannya tentang Al-Qur’an. Serius. Tak mau hanya sekedar bermain.
Hasil pencarian dari si Mbah membawaku ke beberapa website yang memberi informasi terkait pondok tahfizh terbaik. Bahkan ada pondok yang mengajarkan wirausaha sambil menghafal.
Pilihan yang paling pas bagiku, menimbang sebelumnya aku sempat mendaftar ke sebuah kampus bisnis di Jakarta. Namun, pondok tersebut hanya diperuntukkan untuk anak serta remaja yang baru lulus dari sekolah menengah atas. Bukan tempatku disana. Sudah jelas.
Madinatul Huffazh
Setelah beberapa keyword yang berhubungan dengan pondok tahfih aku ketikkan dan puluhan website telah aku kunjungi, maka terpilih satu tujuan. Akhirnya. Sebuah pondok tahfizh di sebuah kota di Jawa Tengah sepertinya akan menjadi awal cerita suksesku. Aamiin.
Menurut salah satu blog yang aku kunjungi, pondok tahfizh tersebut merupakan pondok terbaik di kota tersebut. Sang penulis artikel sebelumnya sempat mondok di sana dan menceritakan pengalamannya di blog miliknya. Referensi yang cukup akurat dan tepat, menurutku.
Tak ada ragu sedikitpun aku memilih pondok tersebut sebagai tempat menimba ilmu. Kota tempat pondok tersebut berada terkenal sebagai kota yang menghasilkan para hafizh Qur’an di Indonesia. Juga terkenal sebagai kota santri serta menjadi tujuan wisata ziarah walisongo dengan menara khasnya.
Kudus, kota para penghafal Qur’an.
Santri Puasanan?
Mengawali acara penimbaan ilmuku di pondok tersebut, sepertinya hanya akan aku lalui selama beberapa hari saja di bulan puasa. Tepatnya selama 17 hari, dimulai tanggal 1-17 Ramadhan. Menjadi santri puasanan, sebutannya.
Aku tak punya bayangan akan seperti apa kegiatan belajar mengajar di sana. Cuma ada sedikit gambaran tentang serunya bisa merasakan kegiatan para santri. Walaupun, sepertinya aku juga akan sedikit terkekang di sana. Pondok tentu memiliki aturannya tersendiri. Sedangkan aku adalah orang yang suka kebebasan.
Namun, hal tersebut tak jadi halangan. Aku niat ingin menimba ilmu tentang Qur’an. Aku rela menggadaikan kebebesanku demi mendapatkan ilmu berharga di pondok tersebut nantinya.
Toh, selama beberapa bulan sebelum puasa tiba, aku sudah terlalu lama santai mengabaikan waktu berharga setelah terbuai rasa kecewa gagal masuk di kampus bisnis. Pergi tanpa arah dan tanpa tujuan saat itu membuatku seperti kehilangan tujuan hidup.
Ada banyak kejadian terjadi setelah peristiwa penantian tak berguna di ibukota waktu itu. Pulang tanpa membawa hasil dan sampai di kampung halaman dengan membawa titik keterpurukan baru. Terlalu privat. Tak ku coba ungkapkan di tulisan ini.
Kembali ke laptop. Pondok tempat aku menjadi santri puasanan untuk pertama kali bernama Pondok Tahfizh Yanbu’ul Qur’an. Terbaik di Kota Kudus, katanya. Aku tak pernah menyicipinya, jadi hanya keyakinan dann balutan harapan tentang sebuah kesempurnaan yang menggiring langkah kecilku ke sana.
Lelaki Paruh Baya
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 8 malam hari. Suara berdecit terdengar di malam hari. Roda pesawat dengan ratusan penumpang di dalamnya mendarat dengan sempurna. Percakapanku dengan seorang lelaki paruh baya terhenti seketika saat pintu keluar pesawat telah dibuka. Dia terlebih dahulu keluar sebelumku.
Menunggu hingga jalan tak sesak oleh penumpang lain, aku melangkah keluar dari pintu setinggi kurang lebih dua meter. Menginjak bandara ketiga yang aku timpali dengan berat badanku yang masih belum ideal. Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta.
Perbincangan seru terjadi selama aku melintasi gambaran awan lembut di senja hari hingga malam menampakkan wajahnya. Lucu dan gokil. Lelaki tersebut berseloroh tentang pengalaman pribadinya bekerja di Banjarmasin. Aku pun ikut terbawa suasana saat itu.
Ia mengajakku untuk ikut bersamanya naik kereta api menuju Solo. Sempat kehilangan jejak dirinya karena aku terlebih dahulu mengambil tas coklat besar di bagasi. Mungkin pertemuan kami cukup sampai di sini saja, aku masih bisa pergi sendiri menuju Solo dengan kereta tentunya.
Mendorong troli sambil mencoba menelepon kakakku. Rencananya aku akan menginap satu malam di kos kakaku di Solo. Perjalanan menuju Kudus akan dilanjutkan besok pagi bersama kakakku menggunakan motor. Entah motor siapa yang dia pakai, berhubung dia masih belum membeli motor saat kuliah S2 dan bekerja di UNS.
Sampai di depan pintu gerbang masuk, aku bertemu dengan lelaki tersebut lagi. Syukurlah, aku kembali punya teman seperjalanan nantinya di dalam kereta. Rekord pertama kali naik kereta di Jawa akan segera terpecahkan, pikirku. Tapi, sepertinya kabar yang lumayan buruk bakal menyabet rekord tersebut.
“Tiket kereta api menuju Solo sudah habis terjual!”, ucap lelaki paruh baya tersebut.
Leave a Reply