Vebrian.com– Pada artikel kali ini, aku akan menceritakan pengalamanku beternak burung puyuh di waktu masih SMA. Bahkan dari peternakan sederhana tersebut, aku sempat memulai bisnis berjualan telur puyuh bacem buatan ibuku di kantin sekolah.
Pengalaman beternak puyuh di belakang rumah memberiku pelajaran berharga bagaimana menjadi disiplin ketika memberi makan dan minum. Tidak boleh ada kata terlambat saat melakukan hal tersebut. Jika melenceng sedikit saja waktu makan, puyuh-puyuh tersebut akan enggan untuk bertelur.
Selain itu, aku juga mendapat pelajaran bisnis tambahan langsung dari praktek menjual baik berupa telur mentah, telur yang sudah dibacem bahkan dari penjualan burung puyuh yang tidak produktif lagi. Berikut akan aku ceritakan beberapa penggal kisah dan gambaran selama kami sekeluarga beternak burung puyuh. Selamat membaca.
Contents
Pertama Kali Beternak Puyuh
Pada awalnya, telur-telur puyuh yang dihasilkan langsung dijual kepada kenalan ayah yang memang pekerjaannya menjadi tengkulak telur puyuh. Di sekitar daerahku, memang ada beberapa orang yang beternak burung puyuh sebelum ayahku.
Di antara mereka ada yang sudah bertahun-tahun beternak puyuh dan ada juga yang baru memulai. Ayah seperti melihat peluang di dalamnya dan akhirnya memilih untuk beternak puyuh juga. Awalnya memang sempat bingung, tapi setelah melihat ayah menyuruh seseorang untuk membuat kandang di belakang rumah sepertinya beliau memang serius.
Pekarangan di belakang rumah yang tidak ditanami padi dijadikan lahan untuk membuat kandang puyuh. Berukuran sekitar 5m x 5m, tanah itu akan menjadi kandang puyuh pertama yang dibuat. Rencananya beliau akan membuat yang lebih besar jika nanti sukses beternak.
Proses pembuatan kandang dilakukan oleh tukang yang memang sudah ahli dalam membuat bangunan. Tukang tersebut memang asli orang kampung kami. Kurang dari seminggu, kandang tersebut selesai dibuat. Hanya tiang-tiangnya saja, karena nanti ayah yang memasang dinding dan atapnya dengan daun rumbia.
Bikin Inkubator Sendiri
Sebanyak 100 ekor burung puyuh yang pertama dibeli cukup menghasilkan sekitar 80 biji telur per harinya. Karena ingin menambah kuantitasnya, ayahku kemudian membeli burung puyuh siap telur beberapa ekor. Aku lupa berapa jumlahnya.
Setelah semua burung puyuh yang ada dirasa cukup, ayah kemudian berinisiatif untuk menetaskan puyuh sendiri. Tentu, jika ingin menetaskan secara mandiri harus memiliki inkubator. Tidak seperti ayam yang cukup dierami oleh sang induk.
Berhubung dana operasional memang tidak ada karena semua modal berasal dari dana pribadi keluarga, maka ayah tidak membeli inkubator khusus tapi membuatnya sendiri. Lalu, setelah berpikir bersama bagaimana cara membuatnya dari membaca beberapa referensi.
Lemari hitam yang sudah ada sejak aku kecil dikeluarkan semua isinya. Hanya bagian bawahnya saja sebenarnya. Bagian lemari berbentuk kotak berukuran sekitar 100cm x 50cm x 30cm dijadikan tempat penetasan telur puyuh.
Sebelum itu, ayah membuat sebuah alat untuk meletakkan telur-telur puyuh di atasnya. Berupa bilah-bilah panjang yang disusun agak renggang sesuai ukuran telur puyuh. Cukup agar telur tidak jatuh. Setelah selesai alat itu dimasukkan ke lemari tersebut.
Lampu bohlam pijar dipasang di dalamnya kemudian. Fungsinya tentu untuk menjaga kehangatan di dalam kotak tersebut nantinya. Ada dua buah bohlam diletakkan di sana. Dan, jadilah incubator made by father.
Sekitar 100 biji telur yang sudah dikumpulkan dijadikan kelinci percobaan untuk alat penetas telur tersebut. Satu per satu telur diletakkan di alat dengan bilah-bilah. Bagian runcing telur diletakkan menghadap bawah.
Tak Kalah dengan Buatan Pabrik
Dari sekian banyak telur yang dimasukkan ke dalam inkubator buatan tersebut, sebanyak 80%-nya menetas dengan sempurna. Meskipun kadang dari jumlah itu, ada beberapa anakan puyuh yang tidak sempurna pertumbuhannya. Kadang ada yang tidak bisa berjalan dan mati dengan sendirinya karena tidak bisa makan.
Dari jumlah puyuh yang asalanya dibawah 300 ekor, dengan bantuan inkubator tersebut jumlah burung berangsur-angsur meningkat tiap bulannya, hampir mencapai 1000 ekor burung puyuh. Ternyata, inkubator buatan sendiri tidak kalah keren dari buatan pabrik. Intinya sih, yang penting netas. Hehehe.
Jumlah burung puyuh yang hampir mencapai 1000 ekor saat itu mampu menghasilkan telur sebanyak 800 biji ke atas setiap hari. Biasanya aku mengambil telur-telur tersebut di pagi atau sore hari berdua bersama ibu atau ayahku.
Lumayan repot jika dilakukan sendiri, karena sudah terlalu banyak telur yang dihasilkan. Jika terlambat diambil, takutnya telur malah jadi umpan tikus yang kadang jahil memakan telur-telur tersebut. Tikus memang salah satu hama yang harus dihindari terutama jika kandang tidak bersih.
Jualan di Kantin Sekolah
Resep telur puyuh bacem yang dibuat ibuku ternyata berhasil. Telur puyuh yang dicampur dengan bumbu serta kecap dan didiamkan selama beberapa saat ternyata bercita rasa lezat. Aku bahkan ketagihan telur puyuh bacem buatan ibuku.
Selama beberapa hari, ibu selalu membuat telur puyuh bacem. Sepertinya ibu sedang melakukan trial and error untuk menemukan cara yang benar-benar klop dalam membuat telur bacem. Lalu, jadilah aku makan telur bacem hampir tiap hari.
Merasa resep yang dipakai sudah pas, ibu lalu berinisiatif untuk menjual telur puyuh bacem. Satu tusuk berisi 4 biji telur puyuh bacem berukuran sedang dijual seharga 1500 perak saat itu.
Pertama-tama telur tersebut dijual di sebuah warung dekat rumah saja. Habis terjual setiap hari ternyata. Kemudian, ibu menambah jualan dan meletakkan di warung-warung yang lain. Juga habis terjual setiap hari. Lalu, ibu menyuruhku untuk menjualnya di kantin sekolah.
Ibu kembali menambah jumlah telur puyuh yang dibacem, untuk dijual di sekolah pertama-tama dibuat menjadi 20 tusuk. Hari pertama berjualan di sekolah, aku membawa kantong plastik dengan wadah kotak putih berisi telur puyuh.
Saat itu, ayahku lah yang berbicara dengan bibi kantin sekolah. Telur puyuh tersebut diletakkan disana dan tiap satu tusuk yang terjual, bibi kantin mendapat 500 perak bagi hasil.
Sehabis pulang sekolah, ternyata semua telur ludes terjual. Aku pun membawa hasil jualan hari itu ke rumah. Aku berpikir kalau tiap hari seperti ini, aku bisa dapat tambahan uang jajan.
Setiap hari setelah itu, aku selalu membawa sekotak telur puyuh bacem ke sekolah. Kemudian, mengambilnya setiap habis pulang. Terkadang habis terjual atau tersisa 1-3 tusuk. Biasanya sisa telur, aku makan di tempat atau aku serahkan ke adikku setelah sampai di rumah.
Pernah suatu ketika, salah satu guru memesan telur puyuh yang mentah dan kemudian aku bawakan ke sekolah dengan wadah karton khusus telur puyuh. Bahkan, ada juga guru yang memesan burung puyuh yang apkir (tidak bertelur).
Berjualan telur puyuh di kantin sekolah terus aku lakukan hingga aku hampir lulus SMA. Dari hasil berjualan, paling tidak aku mendapatkan uang jajan tiap hari.
Tak Terurus
Hingga lulus SMA dan menjelang aku kuliah, bisa dibilang peternakan puyuh mulai tidak terurus. Jumlah burung puyuh dibiarkan tidak ditambah dan semakin banyak juga burung yang apkir. Burung yang apkir sendiri akhirnya disembelih dan dikonsumsi sendiri.
Alasan kenapa tidak diurusnya puyuh-puyuh tersebut karena ayah sibuk mengurus rental mobil miliknya sekaligus bertani. Aku juga tak bisa mengurusnya karena sedang kuliah dan menyewa kos di Banjarmasin. Aku hanya sempat mengurus peternakan sekali di bulan puasa.
Akhirnya, ayah lebih memilih untuk berhenti beternak burung puyuh dan fokus mengurus jasa sewa mobil dan bertani. Kandang bekas puyuh tersebut masih ada sampai sekarang di belakang rumah kami. Tapi, kurungan tempat puyuh tinggal sebagian sudah dibongkar dan sebagian ada yang lapuk karena dimakan rayap.
Leave a Reply