Vebrian.com – Peristiwa yang cukup bersejarah dalam hidupku akan diulas di tulisan ini. Pengalaman berharga yang aku dapatkan ketika menjadi santri puasanan selama 17 hari di sebuah pondok di kota Kudus. Ada banyak orang yang aku kenal saat berada di sana dan juga banyak ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an yang aku dapatkan. Rentang waktu 17 hari di bulan Ramadhan saat itu terasa begitu singkat aku jalani.
Contents
Pakem Perkenalan
Hari pertama di pondok Yanbu’ul Qur’an sangat membosankan, terutama bagiku yang tidak mudah bergaul dengan orang lain. Aku seorang yang tidak mudah akrab dengan orang lain dan bukan tipe orang yang suka memulai pembicaraan. Aku seorang yang melankolis phlegmatis, tapi aku juga membutuhkan teman mengobrol.
Saat itu, ada seseorang yang berada di kamar yang akan menjadi tempat ku meletakkan barang-barang. Seorang pengurus sebelumnya menunjukkan kepadaku arahnya setelah selesai mendata diriku di kantor, tepat setelah aku salim dengan kakak ku yang pulang kembali ke Solo.
Seorang pemuda dengan rambut keriting, kemungkinan ia penghuni kamar tersebut. Kamar dengan nomor 8 itu penuh dengan gantungan pakaian dari para santri. Tepat di salah satu sisi kamar tegak lurus sebuah lemari coklat yang terdiri dari banyak kotak-kotak kecil. Salah satunya dari kotak tersebut akan menjadi tempat menyimpan barang-barang pribadiku.
Aku duduk di di tengah kamar tersebut ketika pemuda tersebut kemudian bertanya siapa namaku dan darimana asalku. Aku juga bertanya hal yang sama setelah menjawab pertanyaannya. Ada ekspresi terkejut saat aku beritahu asalku dari Banjarmasin, Kalimantan.
Tak lama setelahnya datang santri yang lain, berkenalan dan bertanya nama lalu berbincang tentang hal yang sama berulang kali. Siapa namanya dan darimana asalnya. Sebuah pakem yang baku saat pertama kali bertemu dengan orang baru. Hal tersebut terus berulang-ulang kali tiap kali mencoba mengakrabkan diri.
Tak Terdengar atau Memang Tak Diperdengarkan
Siang itu, aku hanya duduk-duduk di kamar dan terus berkenalan dengan santri-santri yang masuk ke dalamnya. Kemungkinan besar, santri-santri tersebut mungkin penghuni kamar tersebut dan sebagian darinya mungkin dari kamar-kamar sebelah. Karena bosan berada di kamar saja, aku kemudian mencoba berjalan-jalan ke kamar yang lain.
Aku menemukan ada sekelompok pemuda yang berkumpul di ujung pelataran, kamar nomor 1 kurasa. Dilihat dari penampilannya, ku rasa mereka juga adalah santri yang akan ikut kegiatan selama bulan puasa nanti. Santri puasanan sebutannya. Aku ikut masuk dalam pembicaraan dan memperkenalkan diri. Benar, mereka juga santri puasanan.
Tidak banyak yang kami bicarakan selain pakem-pakem perkenalan. Mencoba melakukan basa-basi untuk mengusir keheningan ketidakakraban saat itu. Memulai sebuah tema pembicaraan terlalu susah rupanya saat itu. Belum akrab, selain itu bahasa juga menjadi salah satu penyebab ruang gerak mulutku tidak serta merta otomatis terbuka.
Merasa cukup perkenalan garingnya, aku kemudian kembali ke kamarku. Di sana aku kembali duduk dan berebahkan diriku. Tak sadar, aku ternyata tertidur dan lalu dibangunkan oleh adzan Ashar. Aku keluar dari kamar dan mencari sumber air untuk berwudhu, mungkin aku akan buang air kecil dulu. Toh, iqamah juga belum berkumandang.
Selesai buang air dan berwudhu, aku kemudian mencoba menerka-nerka dimana masjid pondok ini berada. Belok ke kanan dari tempat aku berada, ke arah yang aku yakini adalah arah menuju masjid. Iqamah masih belum terdengar, aku yakin masih bisa ikut berjamaah.
Lurus hingga beberapa meter, berbelok ke arah kiri dan tepat di sana ada masjid dengan warna hijau cerah. Beberapa santri dengan seragam berwarna hijau juga terlihat keluar dari dalam masjid tersebut. Aku kemudian masuk ke dalam masjid dan bertemu pemuda keriting yang sekamar denganku tadi. Ia berkata bahwa shalat berjamaahnya sudah selesai. Wow! Iqamahnya tak terdengar oleh telingaku dan aku tak mendapatkan pahala berjamaah.
Syaikh-nya Kamar Nomor 8
Sehabis shalat Ashar, aku kembali ke kamar. Di sana masih kosong, tidak ada orang satupun. Aku hanya duduk-duduk di sana, tak ada hape yang biasanya menemaniku, membaca info-info atau melakukan percakapan dengan teman-temanku di sosmed. Sepi sekali rasanya.
Aku kembali merebahkan diriku berbantalkan sebuah kasur yang empuk di sana. Tak lama aku berbaring datang seseorang yang sebelumnya aku telah berkenalan dengannya. Lelaki keriting pun juga datang setelahnya. Terjadi pembicaraan yang tak aku pahami antara keduanya. Bahasa Jawa yang halus.
Pembicaraan kemudian terbuka ketika santri tersebut bertanya mengapa aku bisa tahu pondok ini. Aku hanya menjawab bahwa aku mencarinya lewat internet dan menemukan pondok ini memang menerima santri mondok selama beberapa hari di bulan puasa. Setelahnya datang lagi seorang santri dengan kacamata dan duduk di depanku.
Pakem perkenalan tentu saja sebagai prolog. Para santri yang ada di sana kemudian menyebutkan ia adalah ‘syeikh’-nya kamar nomor 8. Aku tak begitu paham apa maksudnya, cuma aku menganggap ia mungkin dianggap sebagai orang yang dituakan di kamar tersebut. Beberapa pertanyaan ia lontarkan kepadaku setelahnya.
Salah satu pertanyaannya yakni mengenai salah satu ulama kharismatik dari daerah asalku, Guru Zaini Abdul Ghani atau sering disebut Guru Sekumpul dari kota Martapura. Ia mengenal guru tersebut dan mengatakan bahwa suara beliau saat membacakan syair maulid habsyi sangat sangat merdu. Aku lalu meng-iya-kan apa yang ia katakan, dan memang benar apa yang ia katakan.
Walaupun aku sendiri jarang mendengarkan suara beliau secara langsung karena beliau sudah meninggal saat aku masih kecil. Suara beliau hanya pernah aku dengar dari rekaman yang kadang dimainkan oleh teman-temanku saat masih di kos. Sungguh sangat merdu sekali.
Selain pertanyaan itu, ia kemudian bertanya tentang hal yang berkaitan dengan al-Banjary. Aku hanya menjawab bahwa itu adalah sebuah gelar atau tambahan nama yang biasanya dipakai oleh ulama yang berasal dari Banjar. Menurut pengetahuanku, ulama-ulama yang memiliki silsilah sampai ke Datu Kalampaian atau Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjary, ditambahkan gelar tersebut di belakang namanya.
Datu Kalampaian sendiri merupakan ulama besar yang mengarang salah satu kitab fiqih yang menjadi rujukan mayoritas umat Muslim di tanah Banjar. Kitab tersebut berjudul Kitab Sabilal Muhtadin yang juga diabadikan menjadi nama masjid raya di Banjarmasin.
Saatnya Tobat
Hari-hari sebelum awal Ramadhan aku isi dengan tilawah saja. Belum ada teman akrab yang bisa diajak mengobrol tentang hal basa-basi saat itu. Jika nanti ada, mungkin porsi bercakap-cakap akan lebih besar dari yang lain. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku pernah tilawah sebanyak 5 juz dalam sehari. Mungkin tidak tartil tapi paling tidak ini jadi awal pertobatan diriku.
Setelah mengaji, aku kembali ke kamar dan mencoba untuk berbincang-bincang dengan santri tahunan yang ada. Memulai percakapan terlalu sulit memang, tapi kalau tak dicoba suasana akan semakin membeku. Waktu makan tiba dan aku bersama santri-santri tahunan makan dengan menggunakan talam. Sebuah tempat makan bundar terbuat dari seng berisi nasi dan lauknya diletakkan di depan kamar dan kami pun mengitarinya dan mulai memakan makanan enak yang terhidang di sana.
Sepertinya hari-hari seperti ini berkumpul dengan para santri akan aku jalani dengan senang hati. Bagaimana tidak, pengalaman menyenangkan tersebut mengingatkanku akan hari-hari yang aku telah lalui bersama saudara-saudara teaterku di kampus. Sungguh nostalgia.
Leave a Reply