Vebrian.com – Salah satu pengalaman yang aku tuangkan dalam sebuah tulisan sederhana. Menginjakkan kaki di tanah Jawa demi mendapatkan sebuah nikmatnya cita rasa sebuah asa.
Kumpulan tulisan yang insya Allah akan beredar di jagat maya dengan media website TekoNeko. Salah satu bagian cerita dari seri JIT (Java Island Travelling) berikut aku awali dari cerita di sebuah kota paling aktif di Indonesia. Ibukota negera tercinta.
Jakarta.
Contents
Jalan-Jalan di Ibukota
Posisi dudukku yang asalnya lurus, tiba-tiba terdorong ke belakang oleh sebuah kekuatan besar. Kekuatan yang jika dihitung dengan rumus Fisika mungkin akan memakan waktu beberapa jam untuk mendapatkan hasilnya. Tentu, jika aku yang mengerjakannya.
Tak lama setelah berpamitan dengan kedua orangtua dan meminta restu mereka berdua, untuk pertama kalinya aku merasakan duduk di bangku pesawat terbang. Menuju Jakarta, ibukota Indonesia.
Niat awal ke ibukota bukan untuk mengadu nasib layaknya film-film jaman dulu. Bukan mau jadi artis atau bahkan mau jadi anggota MPR-RI. Cuma sekedar ingin menjawab berbagai pertanyaan rumit yang mungkin akan diajukan beberapa orang penguji.
Yup, mencoba untuk melamar sebuah beasiswa sebuah kampus bisnis di ibukota.
Sekitar satu jam atau lebih atau mungkin kurang, tibalah aku di bandara internasional Soekarno-Hatta.
Alhamdulillah, landing dengan selamat. Menapakkan kaki di bandara kedua setelah Syamsuddin Noor. Rasanya luar biasa. Hohoho…
Setibanya di sana, aku mengambil troli. Meletakkan tas berisi pakaian dan tetek bengeknya ke atas dan mendorongnya.
Lalu, berjalan menuju keluar sambil menengok ke kanan ke kiri. Memastikan bahwa setiap titik dari bandara Soetta tak terlewatkan dari pandangan tajamku. Kapan lagi melihat bandara internasional, pikir ku.
Setelah puas, melihat-lihat semua hal yang ada di bandara, aku teringat bahwa Uwa ku katanya akan menjemputku di bandara. Lupa meminta nomor beliau, lalu aku menelepon ayah untuk minta dikirimkan nomor beliau.
Ku menelepon Uwa yang saat ini memang berdomisili di Jakarta. Kata ayah, beliau telah menunggu di bandara. Segera setelah mendapatkan nomor handphone beliau, aku langsung menghubunginya.
Uwa sebenarnya asli orang Banjar, namun beliau bekerja di Jakarta sebagai seorang wirausahawan. Dulu ayah sempat bekerjasama dengan beliau dalam sebuah bisnis di Banjarmasin. Akan tetapi, entah apa yang terjadi bisnis tersebut terkendala dan belum mendapatkan profit sama sekali.
Setelah mendapati beliau, aku langsung diajak menuju parkiran. Masuk mobil. Di dalamnya, aku sudah disambut oleh istri Uwa dan saudara sepupu perempuanku.
Katanya sebelum pulang ke rumah, beliau mau melakukan meeting dulu bersama mitra kerja beliau. Jadilah aku diajak jalan-jalan keliling Jakarta. Asik.
Percakapan yang Membosankan
Melewati jalan tol yang penuh mobil. Tanpa ada motor walau cuma sebuah saja. Kagum. Maklum orang kampung. Baru pertama menginjak tanah ibukota, serasa udah pernah keliling dunia. Katrok. Ndeso. Udik.
Aku baru tahu kalau melewati jalan tol itu mesti punya isi dompet yang tebalnya seperti wafer Tango. Berlapis-lapis.
Mengapa? Soalnya aku melihat, tiap kali mau melewati palang tol Uwa selalu membayar tiket tol beberapa kali. Entahlah berapa harga tiketnya.
Beliau sempat berkata kalau untuk urusan bisnis, lima ratus ribu beliau sisihkan hanya untuk bayar biaya tol setiap hari. Fantastis.
Tingginya gedung-gedung di mal dan kumpulan beberapa bangunan sangat berbeda dibanding kota sendiri. Memang jauh beda antara ibukota negara dan ibukota provinsi. Sangat jauh.
Tak berapa lama, sampailah kami di sebuah mal di Jakarta. Aku lupa namanya. Aku kemudian diajak untuk keliling juga, mencari tempat yang enak dan nyaman untuk Uwa melakukan meeting bersama.
Dipilihnya J.CO untuk dijadikan tempat rehat sekaligus tempat bersilang pendapat oleh Uwa setelah lelah berjalan mengitari mal.
Saudara sepupuku memesan beberapa donat untuk kami semua. Akhirnya ada juga makanan yang masuk ke lambungku, semenjak dari bandara aku memang tak sempat membeli apapun untuk dimakan. Mengingat harga benda apapun di bandara akan menjadi berkali-kali lipat meningkat dibanding tempat lain.
Percakapan tentang bisnis dimulai. Tak jelas terdengar memang. Rasa manis donat membuat genderang telingaku seolah-olah mengecil. Suara apapun serasa menjadi kecil akibatnya. Namun, dari bahasa tubuh Uwa serta lawan bicaranya sepertinya sempat terjadi konflik.
Aku mencoba mendekati tempat duduk mereka, dengan gaya sok tidak tahu menahu. Memang benar. Ketegangan terjadi antara keduanya. Uwa ku sepertinya mengajukan supaya persyaratan kepada rekannya untuk memulai kerjasama bisnis tersebut.
Akan tetapi, sang rekan tidak menerima persyaratan dari Uwa tersebut. Percakapan terjadi sangat alot hingga beberapa menit di sana. Hingga akhirnya, semua berakhir dengan sebuah keputusan. Tak jelas terdengar bagiku. Mungkin nanti akan diadakan pertemuan kembali di lain tempat.
Kami semua kembali menuju parkir. Berikut dengan beberapa obrolan Uwa dengan istri beliau tentang hasil pertemuan tadi. Terdengar kekesalan beliau di obrolan tersebut.
Sebuah Rumah di Gang Kecil
Tak disangka, ternyata di Jakarta juga ada gang-gang kecil seperti di kota asalku. Sungai kecil dengan siring di sampingnya. Rumah-rumah penduduk berbaris sesuai arah sungai. Ternyata Jakarta tidak melulu soal gedung-gedung. Tidak melulu soal macet.
Bahkan dusun kecil tenang, hijau, dan nyaman juga masih ada di ibukota. Puluhan rumah kecil dan terkadang terdapat beberapa kios kecil aku lewati sepanjang jalan menuju tujuan yang aku tidak tahu kemana.
Waktu berjalan cukup cepat setelah apa yang terjadi di mal saat meeting Uwaku berlangsung. Mungkin karena perut sudah terasa kenyang dengan jejalan berbagai makanan sebelum kali terakhir masuk ke mobil Uwa.
Donat lembut dengan selai manis di dalamnya. Gorengan berbahan dasar pisang manis yang membuat lidah aku semakin terlena. Pun, masakan lezat dari restoran Padang yang turut memanjakan selera. Tiap hari seperti ini, lama-lama bisa makmur tubuhku. Hahaha…
Tak terlalu banyak pembicaraan yang terjadi di dalam mobil. Selain membicarakan, apa tujuan aku ke Jakarta, bagaimana kabar keluarga di Banjarmasin, dan keadaan keluarga Uwaku. Serta, saudara sepupuku yang katanya sedang libur kuliah dan ingin jalan-jalan menikmati waktu luang.
Mobil Uwa ku kemudian parkir di depan sebuah sekolah dasar. Mungkin, rumah beliau ada di sekitar sana. Cuaca memang cerah sepanjang jalan dan waktu itu sudah lewat tengah hari, hanya ada beberapa anak SD yang masih bermain di lapangan bola. Mungkin sedang menunggu jemputan.
Uwaku menyuruhku untuk mengambil tas dari bagasi mobil. Tidak salah lagi, aku sudah sampai di rumah beliau. aku kemudian diantar masuk menuju sebuah gang. Hanya beberapa meter dari depan gang tersebut, di sebelah kiri terdapat rumah jingga bertingkat dua.
Beliau membuka pintu pagar dan memanggil sebuah nama. Nama perempuan. Beberapa detik berselang, terbukalah pintu rumah tersebut dan keluarlah seorang perempuan beserta seorang anak kecil. Kami masuk ke dalam sebuah rumah berinterior menarik dengan berbagai perabotan yang bagiku cukup berkelas.
Sebelum tiba di sana, aku sempat mendengar Uwa menelepon seseorang untuk membereskan sebuah kamar untuk ditempati olehku. Ternyata, perempuan tadi adalah pembantu di rumah tersebut dan anak yang imut tadi adalah cucu beliau. Ow, jadi ternyata rumah tersebut adalah rumah anak beliau. Rumah Ka Dicky, saudara sepupu jauhku.
Naik ke lantai dua, sebuah kamar yang di dalamnya terdapat sebuah kasur empuk beserta bantal dan guling sudah tertata rapi. Di sampingnya, sebuah meja kosong dan kursi juga diatur sedemikian rupa.
Aku disuruh istirahat oleh Uwa, karena nanti malam beliau berjanji akan mengajakku mencari alamat kampus yang ingin ku tuju. Beliau ingin melakukan sesuatu terlebih dahulu sebelum melakukan hal tersebut. Mungkin meeting atau urusan bisnis lainnya. Pikirku.
Setelah beliau pergi, aku meletakkan tas yang dari tadi aku pakai di bahu dan meletakkan di dekat kasur. Duduk di pinggiran kasur dan merenung sebentar.
Pencarian Dimulai
Saking terpananya dengan suasana mungkin. Sepanjang perjalanan dari kota asal hingga sampai di rumah sepupu tidak aku potong dengan sebuah rehat walau sebentar. Cukup dengan mengguyurkan air ke seluruh tubuh, mengganti pakaian, dan makan sedikit camilan sudah cukup mengganti rasa lelah.
Sebuah suara kemudian terdengar dari ponselku. Terpampang panggilan Uwaku di sana. Sudah saatnya sekarang. Hari memang sudah malam. Sebelumnya istri dari kakak sepupuku datang pada sore hari. Berkenalan dengannya dan tak lama setelahnya sang suami datang.
Keduanya merupakan seorang karyawan perusahaan. Tak ayal, kedua anaknya yang masih kecil dititipkan kepada seorang pembantu. Cukup lama terjadi perbincangan renyah di ruang tamu antara aku dan sepupuku. Setelahnya, datanglah Uwaku sendirian. Beliau mengajak anak beliau untuk ikut sekalian mencari alamat kampus tujuan.
Duduk di bagian belakang, Ka Dicky jadi supir dan Uwaku duduk di depan. Perbincangan antara anak dan ayah dengan bahasa Banjar di tanah Jawa terdengar gurih.
Membuka ponsel dan mengakses Google Maps. Beberapa jalan di ibukota sudah dilalui, tour guide yang ahli pun sudah jadi supirnya. Namun, alamat kampus tujuan ternyata asing di telinga keduanya. Syukurlah setelah lama tengok ke arah kanan, mencari sepanjang jalan Warung Jati Barat Ujung gedung kampus bisnis tersebut akhirnya kami temukan.
Tampilan remang-remang dengan sedikit pencahayaan di malam hari serta diapit oleh gedung-gedung di sampingnya menambah rasa penasaran diriku. Entah pengalaman menarik apa yang akan terjadi padaku di Kampus Bisnis Umar Usman ini nanti?
Leave a Reply