Ikut Seleksi Beasiswa Kampus Bisnis di Jakarta

Vebrian.com – Cerita berlanjut ke bagian paling krusial. Perjalanan pertamaku di ibukota mestilah membawa sebuah hasil. Tak muluk memang. Hanya sebuah pernyataan bahwa aku lulus beasiswa kampus bisnis tersebut dan resmi menjadi mahasiswa di sana.

Namun, untuk mendapatkan kata ‘LULUS’ tersebur ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu usaha yang sangat keras serta doa ekstra deras, pikirku.

Bayangan tes masuk yang masih samar-samar. Puluhan peserta beasiswa lain yang tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang berbeda dariku menjadi salah satu sebab yang ragukan diriku.

Benar saja. Perbedaan tes masuk antara universitas dan kampus tersebut berbeda jauh. Sangat jauh berbeda. Terutama saat tes sesi kedua berlangsung.

Contents

Berbeda Tapi Tetap Satu Jua

Ketemu urang Sunda, euy. justirwansyah.wordpress.com
Ketemu urang Sunda, euy.
justirwansyah.wordpress.com

Asing, tapi asik serta seru.

Kesan pertama saat berkenalan dengan peserta-peserta lain dari daerah lain. Bahasa Indonesia yang untuk pertama kali digunakan secara langsung di lapangan. Bukan di depan kelas.

Bertemu dengan orang Sunda untuk pertama kali nih. Seru, euy. Logat bicaranya unik sekali. Berbanding lurus dengan orangnya juga. Sebut saja dia Popo.

Dia membuatku kagum karena sudah mengelola bisnis sendiri sekaligus menjadi pengurus di koperasi di daerahnya. Luar biasa. Aku yang baru saja lulus, bahkan belum bisa apa-apa. Sungguh miris.

Perkenalan demi perkenalan terjadi. Hingga sampai waktu dhuha, para peserta masing-masing melakukan shalat dhuha di pendopo bambu di samping kafetaria di belakang gedung utama.

Kesan awal melihat kejadian tersebut, aku takjub. Seolah memang sudah ajalnya, mereka yang ingin menjadi seorang pebisnis atau wirausaha wajib melaksanakan shalat dhuha setiap harinya.

Benar-benar sebuah lingkungan yang sangat kondusif. Teruntuk para wirausahawan sukses masa depan.

Jadi Boss dalam Sehari!

Dipanggil Boss selama tes. (pixabay.com)
Dipanggil Boss selama tes. (pixabay.com)

Walaupun hanya sekedar tambahan di depan nama, dipanggil dengan embel-embel boss terdengar sangat keren. Oleh tim penguji di kampus tersebut, semua peserta wajib dipanggil dengan titel Boss. Siapapun dia, baik laki atau perempuan.

Untuk tim penguji, bagi laki-laki wajib dipanggil Mister dan Miss untuk perempuan. Semua titel tersebut memang dijadikan budaya di kampus bisnis tersebut. Lalu, menjelmalah semua peserta tes beasiswa tersebut menjadi boss dalam sehari.

Lalu, setelah semua peserta dikumpulkan ke dalam beberapa kelompok dimulailah tes sesi pertama pada hari itu. Semua kelompok akan dibimbing oleh satu orang pembina dari tim penguji. Ada beberapa Miss yang menjadi tim penguji sekaligus pembina masing-masing kelompoknya.

Masuklah satu persatu peserta ke dalam sebuah ruangan yang telah disediakan. Ada sekitar empat atau lima ruangan saat itu. Jika nama peserta dipanggil, ia masuk ke dalam ruangan dan akan kembali beberapa menit kemudian.

Berselang beberapa waktu, tibalah giliranku. Masuk dengan gaya sok imut. Bertatap muka dengan salah satu Miss yang menurut para peserta laki-laki setelah tes berakhir, ia adalah Miss yang paling cantik. Duduk di kursi tepat di depannya. Lalu, dimulailah sesi wawancara.

Pertama, perkenalan terjadi. Ia mengenalkan dirinya terlebih dahulu. Panggil saja Miss Prap, katanya. Oke, panggil saja Niko, kataku kemudian. Tak kenal, maka tak sayang. Untung tidak terlalu kenal, jadi masih tidak terlalu sayang. Eaaa….

Kedua, seperti layaknya peserta sebelumnya aku disuruh membaca surah al-Waqi’ah. Membuka mushaf yang ada didepan lalu membacanya. Cuma beberapa ayat saja. Lima, seingatku. Setelah selesai, ku tutup mushaf tersebut dan diam sejenak.

Miss tersebut kemudian mengajukan beberapa pertanyaan seperti darimana asalku, kuliah dimana, jurusan apa, dan mengapa mau kuliah di kampus bisnis tersebut. Pertanyaan tersebut aku jawab secukupnya, tidak terlalu melebih-lebihkan. Sesi wawancara berjalan santai.

Tak terasa, semua peserta telah selesai diwawancara termasuk diriku. Sesi wawancara telah berakhir dan adzan Zuhur juga telah berkumandang. Maka, sesi ishoma dimulai dan semua peserta kembali terpencar menuju tujuan yang sama.

Semua Berjalan Diluar Dugaan

Tak terduga. (elizabethpettersen.com)
Tak terduga. (elizabethpettersen.com)

Setelah sebelumnya, melakukan shalat zuhur berjamaah oleh semua peserta, sesi istirahat diakhiri dengan makan-makan di kafeteria di samping pendopo bambu.

Sempat antri karena tidak dapat tempat duduk. Jumlah kursi yang terbatas dan secara tiba-tiba jumlah pembeli yang membludak tiba-tiba membuatku perlu menunggu beberapa menit untuk dapat jatah kursi.

Syukurlah ada beberapa teman yang juga ikut mengantri. Sambil menunggu pesananku dibuat oleh bibi penjualnya, aku sempat mencari-cari tempat kosong untuk duduk. Pendek cerita. Anggap aku dan peserta yang lain sudah selesai dengan acara ganjal perut-nya.

Kembali naik ke lantai atas gedung tempat tes sesi kedua nantinya akan berlangsung. Kali ini semua peserta akan dikumpulkan dalam satu aula utama di kampus tersebut.

Sesuai kelompok masing-masing, kami diatur sedemikian rupa oleh para Mister dan Miss UU memasuki ruangan tersebut. Mereka ingin membuat sebuah dokumentasi. Berbekal senyum yang merekah di bibir dan lambaian tangan ke kamera, aku dan peserta yang lain di dalam satu kelompok memasuki aula tersebut.

Telah berjejer puluhan kursi yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian tengah sengaja dikosongkan. Kedua bagian tersebut diatur saling menghadap.

Setelah semua peserta memasuki tempat tersebut dan telah menempati kursi sesuai nomor peserta masing-masing, seorang lelaki berpenampilan menarik menjelaskan tata tertib tes sesi kedua.

Ia menjelaskan bahwa akan ada empat puluh pertanyaan yang akan diajukan olehnya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peserta harus terlebih dahulu mengacungkan tangan dan harus mendapat persetujuan dari sang pembina kelompok.

Empat puluh pertanyaan. (pixabay.com)
Empat puluh pertanyaan. (pixabay.com)

Tes sesi kedua berlangsung menyenangkan. Berbagai pertanyaan diajukan saat itu, mulai dari yang berhubungan tentang kampus itu sendiri, tentang pengetahuan keislaman hingga pertanyaan yang mengacu ke ranah pribadi.

Bahkan ada pertanyaan yang bisa dibilang merupakan sebuah tes kejujuran.

Bagi mereka yang shalat Subuh berjamaah pagi tadi. Silakan berdiri.

Bagi mereka yang shalat Dhuha 8 rakaat. Silakan berdiri.

WOW! Tes macam apa ini? Luar biasa. Benar-benar sebuah tes yang beda dari yang paling beda. Tidak ada pertanyaan tentang siapa penemu benda kecil seperti peniti atau bahkan hal besar seperti teori keseimbangan supply dan demand.

Tidak ada pertanyaan yang selama ini diajukan jika ingin masuk universitas tertentu. Berapa kecepatan sebuah kelapa yang jatuh dari pohon, misalnya.

Dituntut kreatif dan aktif. Seorang wirausaha adalah mereka yang reaktif dan cekatan saat menghadapi sebuah permasalahan. Dituntut untuk jujur serta memiliki integritas ketika menjalankan tugas yang penuh tanggung jawab.

Singkat cerita. Puluhan peserta telah melewati puluhan pertanyaan dari sang penguji. Semua jawaban adalah benar, tak ada kesalahan dalam menjawab. Semua hanyalah tentang persepsi pribadi.

Namun, bagiku. Menjawab semua pertanyaan sebelumnya akan menjadi ‘sia-sia’ jika pertanyaan terakhir tidak dijawab sesuai dengan kehendak sang penguji. Pertanyaan ke-40.

Sebuah Pertanyaan Pamungkas

Pertanyaan penentu, kurasa. (pixabay.com)
Pertanyaan penentu, kurasa. (pixabay.com)

“JIKA ADA SESEORANG YANG KAMU ANGGAP LEBIH PANTAS UNTUK MENDAPATKAN BEASISWA INI, MAKA SILAHKAN MENGUNDURKAN DIRI SEKARANG JUGA”

Aku sudah lupa bagaimana redaksi pertanyaan terakhir tersebut. Pertanyaan ke-40 yang juga ditampilan di depan para peserta dengan menggunakan slide. Mungkin bukan sebuah pertanyaan tapi sebuah pernyataan. Namun intinya, jika aku sebagai peserta merasa ada orang yang lebih pantas menerima beasiswa tersebut selain diriku. Mengundurkan dirilah saat itu juga.

Sebelum pernyataan tersebut diajukan. Sang penguji memang telah menjelaskan bahwa beasiswa kampus tersebut merupakan dana yang didapatkan dari jalur ZISWAF sebuah lembaga pengelola zakat di Indonesia. Sehingga, tim penguji menginginkan dana tersebut memang jatuh di tangan orang yang memang 100% tepat dan layak mendapatkannya.

Pikirku, aku memang pantas mendapatkannya. Toh, aku menganggap diriku sebagai seorang yang ingin menuntut ilmu dan memasukkan diriku ke dalam golongan fi sabilillah, yang boleh mendapatkan dana zakat. Sebuah pengajian tentang hal ini pernah aku ikuti sebelumnya. Tapi aku lupa detailnya.

Merasa pantas? Pertama iya dengan alasan di atas. Akan tetapi, semuanya buyar karena setelah mengalami beberapa kejadian sebelum pertanyaan terakhir diajukan, aku telah melihat beberapa kelebihan di peserta yang lain. Bukan minder, tapi memang merasa ada yang lebih pantas mendapatkannya.

Foto bersama sebelum sesi kedua berakhir.(koleksi pribadi)
Foto bersama sebelum sesi kedua berakhir. (Koleksi pribadi)

Lalu, setelah beberapa peserta ada yang maju ke depan untuk mengutarakan alasannya mengundurkan diri terjadilah kejadian yang menurutku dibuat sangat dramatis. Ada sebagian dari peserta yang terharu bahkan berlinang air mata saat mendengar alasan mereka yang mengundurkan diri.

Sama halnya denganku, maju ke depan dan tiba giliranku. Mengambil mic dari penguji dan menyampaikan beberapa patah kata di hadapan peserta yang lain. Mencoba membuat adegan lebih dramatis, lumayan lah ada yang sedikit bereaksi.

Selesai semua orasi pengunduran diri, maka selesai juga tes seleksi tahap kedua pada hari itu. Tim penguji mengatakan bahwa pengumuman akan disampaikan beberapa hari setelahnya. Maka, dimulailah penantian dengan hasil yang terpampang sudah nyata saat itu, bagiku.

Penantian Tak Berguna

Menunggu bersama sang waktu. (pixabay.com)
Menunggu bersama sang waktu. (pixabay.com)

Menunggu atau ditunggu adalah dua hal dalam satu dimensi yang tidak ku suka. Akan tetapi, penungguan kali ini bisa dibilang semu. Bukan nyata. Menanti sebuah kabar yang hasil sepenuhnya telah diketahui.

Kejadian mengharukan saat tes sesi kedua di gedung filantropi kemarin pagi membuat jawaban dari perjuangan ku di tanah Betawi muncul ke permukaan. Untung saja di rumah Ka Dicky ada akses Wi-Fi. Koneksinya lumayan kencang. Cukup menghibur diriku di tengah penantian pengumuman hasil tes Kampus UU.

Selama di rumah tersebut, aku tak terlalu banyak berinteraksi dengan orang rumah. Ka Dicky dan istrinya yang setiap habis shalat Subuh langsung pergi ke kantor, hanya menyisakan kedua anaknya dan seorang bibi pengasuh.

Salah satu anak Ka Dicky sedang bersekolah di salah satu SD di Jakarta, sedangkan yang lain masih kecil hingga perlu pengasuh untuk mengurusnya. Terlalu asik di depan laptop membuat aku lupa makan. Perut yang sebelumnya sudah disumpali sarapan pagi kini mulai berteriak minta asupan gizi tambahan.

Tak terasa, saat itu sudah hampir tengah hari. Aku coba keluar rumah untuk mencari panganan di sekitar sana. Di samping gang terdapat kios, ku beli saja beberapa roti dan satu minuman kemasan.

Sesaat sebelum masuk gang, sepintas aku melihat sebuah gerobak dengan seorang lelaki paruh baya yang sedang sibuk membuat sebuah racikan makanan. Gerobak kecil bertuliskan cimol. Dalam pikir ku, cimol itu semacam panganan sejenis cilok. Aku suka cilok.

Tapi, ini cimol bukan cilok. Cilok aja enak apalagi cimolku, pikirku. Namanya sudah mirip, pasti rasanya tidak jauh berbeda.

Cimol tidak sama dengan cilok.
Cimol tidak sama dengan cilok.

Tapi, bayangan enaknya cilok segera hilang setelah aku mencicipi panganan yang baru aku beli tersebut. Ternyata beda. Cilok bukanlah cimol dan cimol tidak sama dengan cilok. Aku tertipu dengan nama yang hampir mirip tersebut. Lidahku tak sepaham dengan bayangan enaknya cilok.

Yah, paling tidak rasa cimol masih agak mendingan dibandingkan kenyataan yang telah terjadi beberapa jam yang lalu. Jika aku mengenal baik seorang Dewi Fortuna, mungkin selama beberapa hari ke depan ingin aku ajak dia untuk makan cimol bersama. Siapa tahu hasil seleksi bisa sedikit berubah karenanya.

Pengumuman oh Pengumuman

Saat itu sore hari sekitar jam 5 sore hari, dua hari setelah adegan cimol. Ku buka link yang mengarah ke sebuah tampilan hasil seleksi tahap pertama beasiswa. Sempat deg-degan juga. Tapi, tidak terlalu berharap banyak. Nanti malah sakit. Kemungkinan terburuk sudah dipikirkan, tidak lulus. Kembali ke Banjarmasin setelahnya.

Ternyata benar. Aku tidak lulus dalam seleksi tahap pertama beasiswa tersebut. Kejadian ini sudah terduga sebelumnya. Ingat kejadian mengharukan yang aku sebut di awal? Sebuah peristiwa akibat dari pertanyaan terakhir yang diajukan kepada seluruh peserta.

Pupus sudah harapan masuk kampus bisnis tersebut. Rasa kecewa sempat mengharu-haru hati sepanjang hari. Namun, untuk apa disesali? Bukankah ini jua adalah kehendakku sendiri. Pilihanku sendiri. Menerima dan mengikhlaskan memang susah dipraktekkan tapi mungkin saja dilakukan.

Segera setelah mengetahui hasil, aku langsung menghubungi kakakku via telepon. Minta dibelikan tiket pulang untuk besok paginya. Kemudian, menelepon ayahku mengabarkan kalau hasilnya nihil. Setelahnya, menelepon Uwa. Reaksi Uwa agak sedikit berbeda dari ayah dan kakak.

Hasilnya juga aku beritahu ke Ka Dicky, reaksinya biasa saja sih. Tapi, saat itu aku diajak untuk tinggal sebentar lebih lama. Ia ingin mengajak aku bersama keluarganya untuk mengunjungi beberapa tempat di Jakarta. Agak tidak nyaman menolak, tapi mau bagaimana lagi. Aku hanya mengatakan bahwa tiket sudah dibayar oleh kakakku.

Walaupun tiket tidak dibayar pun, aku juga tidak mau ikut. Sudah tidak ada mood untuk sekedar menikmati ibukota di akhir pekan. Aku ingin kembali ke Banjarmasin. Aku ingin pulang. Hanya ingin pulang dan kembali mengatur siasat ‘perang’.

Teror di Jakarta, Cafe Kopi Penuh Tanda Tanya

Sekarang tiba saatnya untuk kembali ke kampung halaman. Padahal belum genap seminggu aku di Jakarta. Setelah beres, memasukkan semua tetek bengek peralatan ke dalam tas. Aku menunggu Uwa datang untuk mengantarku ke bandara Soetta.

Membuka ponsel, aku mencari file pdf tiket yang sebelumnya sudah dipesan oleh kakak ku via Traveloka. Tiket digital. Tak perlu print tiket berupa kertas. Tidak ribet memang, cukup tunjukkan file tersebut saat check-in dan semua beres.

Salim (salaman kepada orang yang lebih tua) ke Uwa ku, kemudian tak lupa mengucapkan terima kasih karena telah membantu proses seleksi tes selama di Jakarta.

Check-in. Melewati berbagai portal, diperiksa oleh petugas. Kemudian duduk di tempat tunggu. Mungkin ada sekitar satu jam aku menunggu di sana. Sambil mengunyah roti lembut berisi selai coklat di dalamnya, aku memasang headset mendengarkan lagu-lagu favorit yang cukup membuat terhibur. Sendirian.

Menunggu lagi. (pixabay.com)
Menunggu lagi. (pixabay.com)

Menunggu adalah hal yang membosankan. Mataku hampir tertutup rapat. Dendangan lagu mellow di telingaku membuatku mengantuk. Akan tetapi, fokusku teralihkan ke sekumpulan orang yang bergerombol menonton salah satu televisi di tempat tunggu tersebut.

Headset kulepas, mencoba untuk mendengar suara-suara yang ramai. Tepat di sebelah kanan tempat aku bersandar,agak jauh dari pandangan. Sekumpulan orang tersebut kelihatan mantap menancapkan perhatian mereka ke layar televisi.

Sebagian dari mereka saling berbicara satu sama lain. Tak dapat kudengar percakapan tersebut, tapi terkesan sangat serius.

Karena rasa penasaran yang sudah tak tertahan, aku yang tadinya tak peduli dengan benda elektronik berbentuk kotak dengan tampilan gambar-gambar menarik mencoba sedikit melirik.

Benda tersebut tepat berada di depan tempat aku duduk. Menampilkan sebuah gambar kejadian yang pada hari itu membuat panik semua orang di belahan Jakarta yang lain.

Sebuah insiden penembakan. terjadi di dekat sebuah cafe kopi internasional. Reaksiku? Masa bodo. Biasa saja. Toh bukan di bandara, kan?

Kasus penembakan di Sarinah, Januari 2016 lalu. (money.id)
Kasus penembakan di Sarinah, Januari 2016 lalu. (money.id)

Begitupun dengan orang-orang di bandara, mereka seperti tak peduli dengan berita tersebut. Secara nalar, buat apa panik jika penembakan terjadi di tempat yang jauh dari bandara. Kembali memasang headset. Memilih lagu-lagu mellow kemudian. Rasa kantuk kembali menyerang.

Beberapa jam berselang, dengan headset masih terpasang di telinga. Sayup-sayup aku mendengar suara perempuan yang lembut. Perempuan itu mengatakan bahwa penumpang pesawat dengan tujuan Banjarmasin untuk segera masuk ke pesawat. Itu adalah panggilan terakhir.

Segera aku lepas headset untuk memastikannya. Itu benar.

Gawat! Aku terlambat!

Save

Save

Save

Save

Save

Save

Save

2 thoughts on “Ikut Seleksi Beasiswa Kampus Bisnis di Jakarta”

Leave a Reply to tekoneko Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.